Di dunia digital hari ini, pesan tentang hidup sehat sering kali tenggelam di antara lautan konten hiburan. Terkadang, video yang menjelaskan bahaya minuman tinggi gula atau pentingnya cek kesehatan rutin hanya ditonton segelintir orang. Sementara di sebelahnya, video orang curhat tentang mantan, konten reaksi drama, atau sekadar challenge  bisa tembus ratusan ribu penonton.
Saya sempat ngobrol dengan teman kuliah yang sekarang bekerja di salah satu startup kesehatan. Ia bilang, "Aneh ya, konten yang beneran edukatif justru sepi banget. Tapi yang ringan, yang gak nyentuh ranah kesehatan sama sekali, malah viral."
Era di mana hiburan lebih menggoda daripada edukasi
Kita hidup di masa di mana perhatian manusia jadi barang langka. Dalam waktu beberapa detik saja, jempol bisa berpindah dari satu video ke video lain. Platform digital seperti TikTok, Instagram, dan YouTube punya satu kesamaan: terkadang "menghadiahi" konten yang menghibur, bukan yang mendidik.
Secara algoritma, konten yang paling banyak interaksi yakni entah berupa like, komentar, atau share akan terus muncul di beranda. Dan sayangnya, edukasi kesehatan jarang sekali menimbulkan emosi besar seperti tawa, sedih, atau marah. Padahal, itu jenis emosi yang disukai algoritma.
Akhirnya, masyarakat lebih sering disuguhi drama, gosip, dan challenge viral. Bukan karena mereka tidak peduli kesehatan, tapi karena sistem digital menempatkan entertainment di posisi teratas.
Budaya instan dan perhatian singkat
Masalahnya tidak hanya di algoritma, tapi terkadang juga budaya masyarakat kita. Sekarang, durasi perhatian manusia (attention span) makin pendek. Konten yang terlalu serius sering dianggap membosankan. Bahkan banyak yang sudah menyerah menonton di 10 detik pertama.
Di sisi lain, masyarakat kita tumbuh dengan budaya "hiburan dulu, belajar belakangan." Lihat saja, pesan serius sering dibungkus dengan humor agar bisa diterima. Dari sini kita bisa lihat bahwa komunikasi kesehatan tidak bisa lagi mengandalkan cara lama.
Promosi kesehatan bukan lagi sekadar soal menyampaikan fakta, tapi soal bagaimana fakta itu bisa menyentuh, menghibur, dan relevan.