Dampak Ghosting: Nggak Sepele
Terkadang bagi yang mengalami, ghosting bisa meninggalkan luka psikologis. Rasa bingung, kecewa, sampai muncul pertanyaan “aku kurang apa?” sering menghantui. Tak jarang, hal ini memunculkan rasa tidak percaya pada hubungan berikutnya.
Sementara bagi yang melakukan ghosting, pola ini bisa jadi kebiasaan buruk. Setiap kali ada masalah, ia akan memilih menghindar, bukan menyelesaikan. Lama-lama, kemampuan komunikasi dan emosinya bisa tumpul.
Menariknya, ada sebuah penelitian menemukan bahwa korban ghosting pada kelompok usia dewasa awal (18–25 tahun) mengalami psychological distress pada tingkat sedang. Artinya, meski ghosting sering dianggap sepele atau “hal biasa” di era digital, dampaknya nyata terhadap kesehatan mental. Distress psikologis ini mencakup rasa cemas, kehilangan motivasi, dan menurunnya rasa percaya diri.
Budaya Instan dan Ghosting
Fenomena ghosting tidak bisa dilepaskan dari budaya instan yang tumbuh subur di era digital. Sekarang, hampir semua hal bisa didapat cepat: makanan tinggal pesan, transportasi cukup klik, bahkan pasangan pun bisa dicari lewat aplikasi.
Ketika segalanya serba instan, muncul juga kecenderungan mengakhiri sesuatu dengan instan. Daripada repot menjelaskan alasan, cukup tekan tombol blokir dan selesai. Di sini ghosting bukan hanya masalah individu, melainkan juga cermin bagaimana budaya instan mengubah cara kita berhubungan dengan orang lain.
Komunikasi yang Hilang
Di era teknologi komunikasi yang sangat maju, justru banyak orang kehilangan kemampuan komunikasi dasar yakni menyampaikan perasaan dengan jujur dan sehat. Padahal, memberi penjelasan bukan hanya soal menghargai orang lain, tapi juga melatih diri untuk bertanggung jawab atas keputusan yang kita ambil.
Penutup
Ghosting memang tampak seperti solusi mudah, tapi dampaknya bisa panjang. Bukan hanya bagi yang ditinggalkan, tapi juga bagi yang melakukannya. Fenomena ini memperlihatkan bahwa di balik kemudahan teknologi, ada nilai-nilai komunikasi yang makin tergerus.