Mohon tunggu...
Retno Septyorini
Retno Septyorini Mohon Tunggu... Administrasi - Suka makan, sering jalan ^^

Content Creator // Spesialis Media IKKON BEKRAF 2017 // Bisa dijumpai di @retnoseptyorini dan www.retnoseptyorini.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Gerakan Pendidikan Semesta dari Sebuah SD Pedesaan di Era 90-an

29 Mei 2016   22:22 Diperbarui: 30 Mei 2016   09:33 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Masa Kecil (dokumentasi pribadi)

Kalau jaman sekarang, rule ABCD serupa dengan kuis cerdas cermat. Hanya saja setiap kelompok bisa berisikan hingga 10 orang anak. Pertanyaan yang diajukan pun sangat acak. Bisa pengetahuan sosial, pengetahuan alam ataupun hitungan matematika. Meski hanya digelar sekitar 30 menit saja, namun mengikuti ABCD ibarat candu. Saat itu ABCD mampu membuat siswa untuk terpacu untuk berfikir cepat, tepat dan senantiasa haus akan pengetahuan. Kini beberapa kawan saya yang berprofesi sebagai pengajar pun menerapkan hal serupa. Hanya saja kuisnya dibuat individual. Siapa yang bisa menjawab paling cepat dan benar maka dialah pemenangnya. Bahkan tidak jarang teman saya tersebut membuat kuis via online dengan memanfaatkan group WhatsUp yang dibuat sebagai ajang komunikasi antara pengajar dan siswa. Meski hadiahnya tak seberapa, namun kegiatan kecil semacam ini diharapkan mampu menyalakan minat siswa untuk senantiasa aktif saat berada dalam sebuah grup belajar. Meski terbilang cukup sederhana namun saya sangat mengepresiasi hal ini.

Ada yang menarik dengan cara belajar membaca saya di atas dengan konsep pendidikan sebagai gerakan semesta. Sebagaimana yang diketahui bersama, konsep pendidikan gerakan semesta bukan tanggung jawab bapak atau ibu guru semata, namun milik dan tanggung jawab bersama, tidak terkecuali dengan orang tua, pihak keluarga lainnya bahkan generasi muda Indonesia sekalipun. Tentu masih lekat dalam ingatan kita berbagai kisah sukses Gerakan Indonesia Mengajar yang diinisiasi oleh Bapak Anies Baswedan yang berhasil menggaet generasi muda kita untuk ikut serta dalam melunasi janji kemerdekaan Indonesia. Bahkan kini Indonesia Mengajar mampu berkembang dengan sedemikian pesat hingga melahirkan gerakan serupa lainnya seperti Kelas Inspirasi hingga Indonesia Menyala. Indonesia Menyala merupakan sebuah gerakan membaca yang diinisiasi oleh Indonesia Mengajar. Saya menyebutnya kebaikan yang menular. Dan semoga hal ini tetap menjadi viral di negeri kita atau bahkan bisa menjadi inspirasi di berbagai belahan dunia lainnya.

Kembali pada konsep pendidikan gerakan semesta. Jika mengingat konsep ini, entah mengapa ingatan saya selalu tertuju pada ibu. Saat masih SD, saya ingat sekali ibu sering memberi pertanyaan di sela-sela kegiatan harian saya. Misalnya saja 2+2 berapa Non? Pertanyaan yang dapat mengasah kemampuan calistung saya tanpa meninggalkan beban sedikitpun. Pertanyaan tersebut bisa muncul kapan saja, saat makan, bermain ataupun saat mandi.

Suatu ketika ibu bertanya pada saya, “b-u-d-i bacanya apa nduk?”.

Mboten ngertos, jawab saya pelan.

Mboten ngertos artinya tidak tahu. Tentu ibu saya terkaget-kaget melihat saya tidak bisa membaca, bahkan pada kata sesederhana budi. Meski berprofesi sebagai ibu rumah tangga, namun ibu saya menaruh perhatian yang luar biasa besarnya kepada putera-puterinya. Keesokan harinya, saat menjemput sekolah, ibu pun bertanya pada Bu Tum, Guru Bahasa Indonesia saya. Lalu dijelaskanlah bahwa cara membaca yang diajarkan di sekolah bukan a,b,c,d dst namun eh, beh, ceh, deh dst. Toh pada kenyataanya metode ini tidak menghambat kemampuan membaca anak. Menurut cerita ibu,kata Bu Tum baru ibu saja yang menanyakan hal ini.


Setidaknya ada dua kemungkinan yang dapat dipetik dari kejadian tersebut. Pertama, wali murid yang lain memang sudah tahu cara guru mengajarkan membaca di sekolah. Dan yang kedua, ya hanya ibu saya saja yang begitu perhatiannya pada perkembangan anak. Dalam hal ini saya tidak menyimpulkan apa-apa. Tentu karena saya tidak lebih tahu kedekatan hubungan antara teman-teman dengan orang tua mereka masing-masing.

Peran ibu inilah yang terbilang sangat krusial dalam lingkup keluarga, termasuk dalam hal tumbuh kembang dan pendidikan anak. Ibu saya memang tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Ibu hanya lulusan SMA. Namun soal mendidik anak, saya tidak ragu. Ibu adalah salah satu pendidik terbaik yang saya temui hingga saat ini. Bersepeda sekian kilometer pun ditempuh untuk sekedar mengantar dan menjemput saya sekolah.

Selain begitu perhatiannya pada perkembangan anak, ibu juga mengenalkan saya pada budaya daerah sendiri. Sejak kecil saya hanya menggunakan bahasa Indonesia di waktu-waktu tertentu, saat sekolah misalnya. Selebihnya ya menggunakan bahasa daerah. Tentu hal ini dilakukan bukan dengan maksud menyepelekan bahasa nasional kita. Ibu mengajarkan bahasa daerah dengan tujuan yang baik.

Pertama, tentu supaya saya dapat berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Seringkali seorang anak dicap sombog atau bodoh saat tidak menimpali sepatah katapun ketika diajak berbicara. Padahal kenyataannya belum tentu demikian. Bisa jadi si anak tersebut tidak mengerti dengan bahasa yang sedang digunakan oleh lawan bicaranya. Selain itu ibu sengaja mengajarkan bahasa daerah, agar saya mengerti unggah-ungguh yang berlaku di masyarakat, apalagi jika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua. Di Jogja memang demikian. Berbahasa jawa saja ada tingkat kesopanannya. Dengan demikian diharapkan saya mampu bersosialisasi di masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi ketika saya berada di Jogja saja. Sewaktu ikut bapak tugas di Cilacap, kata ibu, saya dapat berkomunikasi dalam bahasa ngapak.

Ketiga, sekolah saya memiliki perpustakaan yang cukup besar lengkap dengan koleksi buku yang cukup memadai. Untuk ukuran sekolah di pedesaan, dulu perpustakaan saya itu terbilang cukup luas. Ruangan perpustakaan pun setara dengan satu bangunan kelas. Disana ada ratusan buku yang dipajang di sederet rak bertingkat. Tidak hanya koleksi bukunya saja yang banyak, namun ruang bacanya pun sangat nyaman untuk membaca. Ada karpet hijau yang digelar di sepanjang lantai perpustakaan. Kalau mau baca tinggal selonjoran saja. Nyaman sekali. Mungkin karena adanya perpustakaan inilah yang membuat minat membaca saya tergolong cukup tinggi. Mungkin kalau dahulu sekolah saya tidak memiliki perpustakaan yang nyaman, bisa jadi membaca bukan menjadi salah satu hobi untuk mengisi waktu luang. Adakah yang memiliki pengalaman serupa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun