Mohon tunggu...
Lipul El Pupaka
Lipul El Pupaka Mohon Tunggu... sedang mengetik...

ini bio belum diisi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konservasi yang Menghukum: Tarik Ulur Antara Perlindungan Ekosistem dan Hak Masyarakat Adat dalam UU 32/2024

17 Juli 2025   14:55 Diperbarui: 17 Juli 2025   14:55 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketuk palu kebijakan sesuai dengan orderan (Sumber: ilustrasi miliki penulis/Lipul/AI)

Di tengah krisis iklim global dan laju deforestasi yang kian mengkhawatirkan, lahirnya undang-undang konservasi baru seharusnya menjadi kabar baik bagi masa depan lingkungan Indonesia. Idealnya, regulasi seperti ini menjadi pondasi kokoh untuk memperkuat perlindungan alam sekaligus menjawab tantangan kerusakan ekosistem yang semakin kompleks.

Namun, bagaimana jadinya jika harapan tersebut justru dikubur oleh proses hukum yang rapuh dan minim partisipasi publik? Apa yang terjadi jika payung hukum yang seharusnya menjadi perisai bagi hutan dan keanekaragaman hayati malah berubah menjadi alat peminggiran masyarakat adat---mereka yang selama berabad-abad terbukti menjaga hutan secara turun-temurun?

Inilah ironi yang kini menyelimuti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Alih-alih menjadi tonggak baru konservasi berkeadilan, UU ini justru digugat ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap cacat secara prosedural dan substansial. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menjadi penggugat utama dalam uji formil yang kini sedang berlangsung di MK (Mongabay, 2025).

Mereka menyampaikan keberatan mendasar: UU 32/2024 membuka ruang lebar bagi kriminalisasi masyarakat adat yang hidup di kawasan konservasi. Aktivitas tradisional seperti memungut hasil hutan, berburu secara subsisten, atau bertani secara adat dapat dengan mudah dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Padahal, justru masyarakat adat selama ini merupakan penjaga alami hutan dan benteng terakhir keanekaragaman hayati Indonesia.

Persoalan ini jelas bukan sekadar tentang satu pasal atau klausul dalam sebuah UU. Ia mencerminkan problem struktural yang lebih dalam dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia: konservasi yang cenderung eksklusif dan elitis, pengabaian hak masyarakat adat, serta kolaborasi ambigu antara negara dan korporasi atas nama "perlindungan lingkungan".

Pada akhirnya, ini bukan sekadar perdebatan hukum, melainkan pertaruhan atas masa depan konservasi itu sendiri---apakah Indonesia memilih jalan konservasi yang adil dan inklusif, atau justru memperkuat konservasi yang menghukum dan meminggirkan mereka yang seharusnya menjadi mitra utama perlindungan alam.

UU Konservasi 2024: Melestarikan atau Menggusur?

UU 32/2024 lahir dengan dalih memperkuat upaya konservasi ekosistem dan keanekaragaman hayati. Namun, substansinya justru memperbesar kewenangan negara dan membuka ruang masuknya korporasi dalam pengelolaan kawasan konservasi melalui skema "kerja sama konservasi". Sayangnya, dalam proses penyusunannya, masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini hidup dan menggantungkan hidupnya pada ekosistem tersebut tidak pernah diajak bicara secara bermakna.

Masalahnya sederhana tapi serius: UU ini berpotensi menjadikan aktivitas tradisional seperti berburu, memungut hasil hutan, atau bertani di hutan sebagai tindakan ilegal. Padahal, bagi masyarakat adat, aktivitas itu adalah bagian dari identitas budaya sekaligus sistem konservasi yang diwariskan secara turun-temurun.

Ironi ini semakin mencolok karena Indonesia seharusnya sudah belajar dari Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Namun sayangnya, UU 32/2024 seperti mengulang dosa lama: memposisikan negara sebagai penguasa tunggal atas ruang hidup masyarakat adat.

Di Mana Negara Saat Penjaga Hutan Dikriminalisasi?

Dari sudut pandang kelembagaan, UU ini menunjukkan betapa lemahnya sistem perizinan dan pengawasan di sektor konservasi. Pemerintah seakan lebih mudah memberikan izin kepada korporasi untuk mengelola kawasan konservasi lewat skema kerja sama, dibanding mengakui hak masyarakat adat yang telah terbukti menjaga hutan selama berabad-abad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun