Â
   Tan Malaka, yang memiliki nama asli Sultan Ibrahim dan bergelar Datuk Sutan Malaka, adalah seorang tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandam Gadang, Gunuang Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, ia dikenal sebagai seorang pengajar, filsuf, pejuang kemerdekaan, pendiri Partai Murba, dan penulis prolifik. Muhammad Yamin bahkan menjulukinya sebagai 'Bapak Republik Indonesia' karena gagasannya tentang Republik Indonesia yang dituangkan dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia.
   Tan Malaka menunjukkan kecerdasan sejak usia muda. Ia menempuh pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) di Bukittinggi pada tahun 1908. Di sana, ia belajar bahasa Belanda dan menunjukkan bakat dalam sepak bola. Setelah lulus pada tahun 1913, ia menerima gelar adat datuk dan mendapatkan dana dari desanya untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Pada usia 17 tahun, ia berlayar ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar di Rijkskweekschool. Selama di Eropa, ia tertarik pada sejarah revolusi dan teori revolusi sebagai sarana perubahan masyarakat, terinspirasi oleh buku De Fransche Revolutie. Setelah Revolusi Rusia Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme reformis, membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Ia juga bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada November 1919, Tan Malaka lulus dan menerima diploma hulpacte.
   Pemikiran Tan Malaka sangat dipengaruhi oleh paham Marxisme, khususnya Materialisme, Dialektika, dan Historis. Ia berupaya mewujudkan pendidikan yang mendahulukan kearifan lokal, agar masyarakat dapat memperoleh bekal untuk kehidupannya kelak, melalui sekolah Sarekat Islam (SI). Tan Malaka menuangkan seluruh pemikiran-pemikirannya dalam buku-buku ikoniknya, seperti Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), yang berisi analisisnya terhadap rakyat Indonesia yang tidak terbiasa berpikir kritis dan logis. Ia juga menulis Dari Penjara ke Penjara, yang menjelaskan syarat untuk menjadikan suatu negara merdeka, dan Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi), yang berisi konsep-konsep perlawanan untuk melawan imperialisme.
   Setelah menyelesaikan pendidikan di Belanda, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan menjadi pengajar, bergabung dengan Sarekat Islam cabang Semarang. Di sinilah perjuangannya dimulai. Ia menjalani hidup nomaden, berpindah dari satu negara ke negara lain, termasuk Rusia, di mana ia menjadi anggota Comintern (Komunis Internasional). Setelah Perang Dunia II, ia menggunakan berbagai nama samaran seperti Ilyas Husein, Ossorio, Ong Soong Lee, Alisio Rivera, dan Hasan Gozali. Pada akhir masa pendudukan Jepang, ia menyamar sebagai mandor di Banten dan menulis Madilog.Â
   Pada zaman revolusi, ia dianggap sebagai otak di balik peristiwa 3 Juli 1946 karena menentang hasil perundingan antara Republik Indonesia dengan Belanda. Ia menuntut kemerdekaan 100 persen dan menulis Gerpolek yang berisi konsep perlawanan terhadap imperialisme.
   Akibat aktivitas politiknya, ia ditangkap dan diasingkan ke Belanda pada tahun 1922, namun pengasingan ini justru menjadikannya petualang politik. Ia menghabiskan hampir setengah hidupnya bersembunyi dan menjadi buronan Belanda, berpindah-pindah negara seperti Tiongkok, Rusia, Jepang, Singapura, dan Filipina. Meskipun demikian, ia terus menentang penindasan dan menjadi wakil Komintern untuk Asia Tenggara. Di Tiongkok, ia menulis Naar de Republiek Indonesia, yang menjelaskan cita-cita dan struktur negara Indonesia merdeka dalam sistem republik. Buku ini menjadi sangat populer di kalangan pemuda dan pejuang kemerdekaan Indonesia.
   Pada tahun 1946, ia mendirikan koalisi Persatuan Perjuangan yang mendapat dukungan rakyat dan tentara republik. Namun, ia dipenjarakan pada tahun 1946 karena dituduh melawan kebijakan pemerintah Indonesia yang baru. Ia dibebaskan setelah pemberontakan PKI Madiun dan merintis pembentukan Partai Murba.
   Tan Malaka meninggal dunia pada 21 Februari 1949. Ia terbunuh oleh pasukan dari batalion Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah pembunuhan ini diberikan oleh Letda. Soekotjo, menurut sejarawan Harry Poeze. Setelah kejadian tersebut, Mohammad Hatta memberhentikan Sungkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Surachmat sebagai Komandan Brigade karena dianggap ceroboh dalam menangani kelompok Tan Malaka.
   Lokasi makam Tan Malaka sempat menjadi misteri selama puluhan tahun, namun peneliti Belanda, Harry Poeze, menemukannya di kaki Gunung Wilis, Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Pada 16 Februari 2017, jasad Tan Malaka dipindahkan ke tanah kelahirannya di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten Lima puluh Kota, Sumatera Barat. Meskipun ia adalah seorang pahlawan, Tan Malaka meninggal di tangan militer bangsanya sendiri, bangsa yang telah ia bela selama puluhan tahun demi kemerdekaan 100 persen.Â