Mohon tunggu...
Lintang Prameswari
Lintang Prameswari Mohon Tunggu... Jurnalis - Content Writer

Bukan penulis, hanya menulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Kenek Metromini yang Dicurangi oleh Senin Pagi

1 Juli 2019   17:47 Diperbarui: 1 Juli 2019   22:02 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Tribunnews | Irwan Rismawan

Pagi tadi, kenek metromini turun dengan keringat lelah yang mengucur dengan payah,
Sambil melambai mengucap terimakasih pada sang sopir,
Ia melanjutkan langkah bersama kopaja sambil berteriak, "Tanah Abang, Tanah Abang, Tanah Abang!"
Selamat pagi, Senin yang bimbang,
Semoga bulan ini kita masih punya waktu tuk bersenang-senang

Sang kenek melambaikan topi,
Sejenak pejamkan mata meresapi pagi.
Berharap dapat banyak rezeki,
Menafkahi perut-perut yang meronta ingin dipenuhi gizi.

Manusia-manusia berdesakan menyaingi matahari pagi,
Seluruh dunia tak pernah peduli,
Sebenarnya untuk apa kita bangun lagi.
Entah sebenarnya apa yang kita kejar,
Tak tahu kuasa macam mana yang akan kita hajar.

Ada nasib yang diadu pada sepasang sepatu,
Sedang di korporasi, stileto hak tinggi sibuk memangkas duit rakyat mini.
Sampai nanti waktu berjalan tanpa pernah kita rencanakan,
Beberapa perjuangan seketika bergerak menjadi perbudakan,
Tidak ada reformasi,
Pilihan-pilihan kita dicurangi,
Para penguasa terus saja sibuk berkoalisi.

Bumbu-bumbu dapur telah disiapkan untuk matang di Juli yang dingin,
Campur aduk persekusi, tanpa toleransi, pelanggaran terhadap hak bebas berekspresi,
Sampai akhirnya sang kenek metromini yang berhenti di simpang Semanggi,
Tersadarkan bahwa ia belum sepenuhnya merasakan indah reformasi.
Janji hanyalah janji,
Kebohongan melekat pada pemimpin-pemimpin yang cuma berniat memperkaya diri.

sumber: detik.com
sumber: detik.com
Ada sopir dan kenek yang saling bersahutan berebut penumpang,
Penjual buah dan baju murah yang terlunta di bawah sengatan siang,
Penghasil beras yang sibuk bekerja di teriknya ladang-ladang,
Nelayan yang melawan ombak dan kehabisan ikan karena mati oleh tongkang-tongkang,
Serta aku dan dirimu atau siapapun itu yang sedang berdebat di media sosial memicu perang-perang.

Mari kita saling menipu diri dengan kembali menganggap bahwa ini semua bukan apa-apa,
Dan memang tak perlu khawatir akan terjadi bencana,
Toh kita masih saja berharap dijamin pemerintah,
Menggantungkan mimpi pada jaminan-jaminan hari tua.

Lalu satu persatu dari kita akan terkoyak di lambung kehidupan,
Dan kenek-kenek metromini akan jadi saksi di perjalanan,
Tentang betapa kerasnya kita mati-matian untuk tetap bertahan,

Berjalan,

Menangis kelaparan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun