Penulis: LingLing Diva Anggrera dan Syifa Azalia Zabrina
Dua Pengacara yang terjerat kasus Suap Vonis Hakim pada pertengahan tahun 2025 ini sebesar Rp 60 miliar mereka adalah Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso. Keduanya menjadi advokat untuk 3 perusahaan sawit raksasa yaitu PT. Wilmar Group, PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group. Ariyanto Bakri dan Marcella Santoso juga dikenal oleh masyarakat melalui konten-konten mereka di media sosial yang mana konten tersebut berisi kekayaan.
Pada 19 maret 2025 majelis hakim Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan vonis lepas pada tiga korporasi besar tersebut yang mana isi dari putusan tersebut menyatakan bahwa perbuatan mereka tidak bisa di pidanakan walaupun sebelumnya mereka telah merugikan negara.
Kejaksaan Agung menemukan bukti bahwa Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang mana merupakan pengacara dari 3 korporasi besar tersebut telah memberi suap kepada Ketua PN Jakarta Pusat. Suap tersebut di beri melalui perantara panitera muda Wahyu Gunawan. Kemudian pada 12 April 2025 Kejaksaan Agung resmi menetapkan Marcella Santoso dan Ariyanto Bakrie sebagai tersangka dalam kasus suap tersebut. Dua pengacara tersebut telah ditahan dirutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Perbuatan dua pengacara ini telah mencoreng profesi advokat sebagai pelindung keadilan, pada dasarnya seorang advokat bertugas melindungi hingga mengayomi serta membela kepentingan klien oleh karena itu advokat harus berpegang pada prinsip etika dan moral saat menjalankan kewajibannya. Â
Di era modern ini lunturnya etika dan moral profesi sangat berdampak luas lemahnya hati nurani menjadi tidak produktif dan menyebabkan pelanggaran hukum. Kode etik advokat adalah hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, menjamin dan melindungi dan menjadi hal penting yang harus dikuasai oleh advokat karena ketika menjalankan profesinya advokat diharapkan mampu menjaga integritas hingga tanggung jawab terhadap klien, pengadilan, negara, masyarakat hingga dirinya sendiri. Â
Dengan adanya kasus pengacara suap hakim yang dilakukan oleh pengacara menyebabkan kepercayaan publik hilang hingga dapat menyebabkan polarisasi sosial atau bahkan kerusuhan pada sistem peradilan di Indonesia. Hal ini dianggap tidak berjalan sesuai dengan prinsip prinsip keadilan dan kebenaran. Padahal tujuan kode etik advokat adalah untuk menjalankan profesinya secara jujur, independen dan bertanggung jawab.
Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi advokat dan harus terbuka hingga bertanggung jawab dalam memberikan informasi kepada publik mengenai kasus yang sedang ditangani dengan tetap menjaga rahasia klien hingga tidak ada tindakan yang merusak hukum. Advokat harus menjungjung tinggi hukum, undang-undang dan sumpah jabatannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI