Mohon tunggu...
Linggar Kharisma
Linggar Kharisma Mohon Tunggu... Politisi - Political Scientist In Digital Creative Industry

Political Scientist

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengkaji Ulang Hakikat Masjid

23 Agustus 2016   18:30 Diperbarui: 23 Agustus 2016   18:53 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bangunan Masjid / www.nusantaran.com


Beberapa waktu yang lalu, di sini, saya sempat tulis gagasan mengenai rekonstruksi konsep masjid. Saat sedang menulis tulisan tersebut, sejujurnya pikiran saya mengawang ke masjid Nabawi di Madinah sana. First Impression yang hinggap saat pertama kali saya menginjakan kaki di masjid sekaligus makam Nabi Muhammad tersebut, begitu membekas di hati dan sulit di lupakan.

Jadi begini. Seperti yang sudah sempat saya ceritakan, dalam kurun dua tahun terakhir ini, di mana saya rajin mengkaji mazhab Syi'ah (utamanya Syi'ah Itsna Asyariyah), perasaan untuk bertemu langsung dengan penganut mazhab Ahlul Bait di tanah Arab ini begitu menggebu-gebu. Ndak afdol bagi saya, jika ke Saudi ndak bertemu salah satu pengikut Imam Ali, apalagi saat berada di tanah Haram (Mekkah & Madinah).

Rasa penasaran saya ternyata di ijabah Allah dengan cepat. Baru satu hari di sana, pada hari ke dua, tepatnya seusai berdo'a di Raudhah saat hendak melaksanakan salat subuh berjamaah, datang sesosok kakek duduk di samping saya, yang dengan segera melaksanakan salat sunnah setelahnya.

Awalnya tak ada hal aneh dengan orang tersebut. Beliau berdiri tegak dan memulai takbir seperti lazimnya orang yang hendak salat. Hingga akhirnya saya sadari ada beberapa gerakan dalam ritus salat yang di jalankan, merupakan ciri khas penganut mazhab Syi'ah.

Senyum saya bersemai mesem. "Nah! ini yang saya tunggu-tunggu" kira-kira begitu hati saya bergumam sumringah. Namun karena adanya kendala bahasa dan waktu yang sempit untuk tidak segera berdzikir, membuat peristiwa itu berlalu begitu saja. Meski kami saling duduk bersampingan sepanjang waktu subuh itu, pada akhirnya kami memilih untuk sama-sama masyuk untuk melakukan amalan-amalan sunnah lain.

Dari sketsa cerita saya tadi, setidaknya ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik demi menjaga kerukunan antar umat Muslim di Indonesia. Jika pada tulisan saya dulu, saya bercerita mengenai penolakan Cak Moqsith (Abdul Moqsith Ghazali) untuk mengisi ceramah di masjid komplek rumah, karena memiliki gagasan keislaman yang cukup progresif, beserta paparan mengenai kompleksitas masalah masjid sebagai rumah besar umat Islam belakangan ini. Maka sudah seyogianya kita belajar untuk meninjau ulang konsep dan hakikat masjid.

Di masjid Nabawi maupun Masjidil Haram sana, yang konon merupakan sarang paham Wahabisme beranak pinak, toleransi internal sesama umat Muslim berjalan kondusif. Hampir tak ada kegaduhan dalam perkara ibadah, dengan alasan berbeda paham dan mazhab dalam menelaah sebuah penafsiran teks-teks agama, maupun hal ibadah.

Saat imam besar masjid Nabawi dan Masjidil Haram melakukan takbiratul ikhram, tanda salat akan di mulai, semua umat Muslim yang menjadi makmum segera setelahnya melakukan hal yang sama. Imam rukuk, makmum rukuk. Imam sujud, makmum sujud. Semua di lakukan tanpa ada kegaduhan mengenai perbedaan aliran dan mazhab.

Lebih lanjut lagi, kalau kita baca-baca sejarah Masjidil Haram dahulu, lewat buku "The Great Theft" karya Profesor Khaleed Abou El-Fadl, maka kita akan temukan beberapa fakta yang menarik mengenai toleransi internal yang di jalankan di seputaran komplek Ka'bah ini, lewat berbagai festival keagamaan antar mazhab yang di helat pada era kekuasaan Turki Utsmani. Karnaval keagamaan yang menyajikan berbagai varian pemikiran dan pengikut mazhab-mazhab dalam Islam, di langsungkan dengan tertib tanpa ada gangguan kelompok-kelompok 'Islam pentungan' nan intoleran seperti jamak di jumpai belakangan ini.

Sejujurnya, hanya dengan banyak belajar dan mau memahami realitas yang terjadi di dunia Islam pada umumnya, maka berbagai kejadian yang saya ungkap pada tulisan terdahulu, mengenai adanya distingsi dan pembedaan platform masjid berdasar paham yang dianut kelompok tertentu, takkan terjadi. Dengan begitu, hakikat bangunan masjid sebagai rumah Tuhan dan sarana bersemainya berbagai pemikiran keislaman, bukan menjadi sebuah kemuskilan pemahaman.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun