Mohon tunggu...
Linda Widi Astuti
Linda Widi Astuti Mohon Tunggu... Mahasiswa Perbankan Syariah, Universitas Alma Ata

Menebar kebermanfaatan pada setiap jejak langkah dan bait kata

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pentingnya Strategi Adaptif Perbankan Syariah di Tengah Proyeksi Perlambatan Ekonomi 2025

6 Juli 2025   21:09 Diperbarui: 6 Juli 2025   21:09 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

International Monetary Fund (IMF) dalam laporan World Economic Outlook April 2025 memperkirakan pertumbuhan ekonomi global yaitu mencapai 2,8% pada tahun 2025 dan 3,0% pada tahun depan. Perkiraan ini menurun lebih kurang 0,8 persentase dibandingkan dengan revisi Januari 2025. Tentunya tidak hanya berdampak pada negara-negara besar, Indonesia juga tidak terlepas untuk dapat merasakan pelemahan ini. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun dari 4,9% menjadi 4,7% pada tahun 2025. Bank Indonesia juga merevisi prediksi yang awalnya 4,7-5,5%, turun menjadi 4,6-5,4%. Oleh karena itu, persiapan dan adaptasi sangat penting dalam menghadapi adanya proyeksi perlambatan maupun badai ekonomi 2025.

Proyeksi ekonomi global tahun 2025 menunjukkan penurunan yang tidak terlepas dari sektor keuangan termasuk sektor perbankan syariah. Sektor keuangan terutama perbankan syariah menghadapi tantangan dalam mempertahankan kinerja keuangan yang stabil di tengah kondisi tersebut. Selain itu, bank syariah perlu mempertahankan kepercayaan masyarakat di tengah tekanan ekonomi makro. Perbankan syariah sudah lama dikenal baik dalam bertahan terhadap krisis karena berlandaskan prinsip keadilan, kehati-hatian, dan pelarangan terhadap spekulasi. Sistem perbankan syariah didasarkan pada prinsip-prinsip syariah yang dapat menjadi kekuatan. Prinsip ini termasuk prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (Profit and Loss Sharing) seperti akad mudharabah dan musyarakah yang memungkinkan fleksibilitas terhadap kondisi bisnis dengan larangan spekulasi dan riba yang dimana menghindari instrumen berisiko terhadap fluktuasi pasar. Selain itu, instrumen ekonomi sosial Islam seperti zakat, infaq, dan wakaf dilaksanakan untuk meningkatkan ketahanan ekonomi kelas sosial yang lebih membutuhkan.

Kondisi Perbankan Syariah di Indonesia

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah aset perbankan syariah di Indonesia mencapai 980,30 triliun rupiah dengan pertumbuhan pembiayaan sebesar 9,92 persen YoY pada akhir tahun 2024. Rasio kecukupan modal (CAR) berada pada batas aman dan kualitas pembiayaan terjaga dengan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) Gross di level 2,12% dan NPF Nett sebesar 0,79%. Selain itu, pembiayaan berbasis murabahah dikenal dengan prinsip jual beli yang memiliki risiko rendah, tetapi mungkin kurang fleksibel dalam ekonomi yang sangat berubah-ubah. Hal ini memungkinkan adanya risiko dari gejolak makroekonomi terhadap sektor jual beli seperti pada kegiatan UMKM.

Perbankan syariah yang berfokus pada sektor UMKM dalam pemberdayaan umat, tetap memiliki risiko tersendiri terutama ketika perlambatan ekonomi atau krisis keuangan. Biasanya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) cenderung rentan terhadap kenaikan harga bahan baku maupun biaya logistik, yang berdampak pada proporsi pembiayaan yang semakin besar dan dapat meningkatkan risiko pembiayaan. Adapun produk pembiayaan murabahah masih mendominasi daripada pembiayaan lain. Hal ini terjadi karena kurangnya manajemen risiko berbasis musyarakah maupun mudharabah dan terdapat risiko pembiayaan yang lebih tinggi terutama ketika adanya ketidakpastian seperti inflasi dan geopolitik.

Faktor Ketahanan Perbankan Syariah

Perbankan syariah memiliki tantangan sendiri dalam memanajemen risiko pembiayaan dan mengoptimalkan transformasi digital terutama pada bank syariah yang kecil. Namun, setiap bank syariah memiliki keunggulan kompetitif yang dimana tetap menerapkan prinsip dan etika perbankan syariah seperti akad bagi hasil yang adaptif terhadap penurunan dan kenaikan pendapatan yang diperoleh. Jadi, prinsip bagi hasil ini memberi ruang penyesuaian kepada nasabah dimana bagi hasil disepakati bersama dan pembagian nisbah didasarkan  pada besaran keuntungan yang diperoleh dari usaha.

Instrumen spekulasi dan riba tidak diterapkan, sehingga lebih bertahan ketika menghadapi guncangan pasar keuangan. Adapun zakat, infaq, sedekah, dan wakaf dapat memperkuat ketahanan pada masyarakat kelas bawah melalui pengelolaan sistem perbankan syariah yang terintegrasi. Oleh karena itu, hal ini menjadi keunggulan tersendiri bagi perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi antara yang membutuhkan dana dan kelebihan dana.

Strategi Perbankan Syariah

Meskipun memiliki keunggulan tersendiri, perbankan syariah perlu menyusun strategi sesuai kebutuhan di tengah ketidakpastian maupun perlambatan ekonomi.

  • Diversifikasi produk pembiayaan

Bank syariah lebih mengoptimalkan produk pembiayaan selain murabahah seperti akad musyarakah dan mudharabah supaya tidak selalu mendominasi pada murabahah. Akad ini berprinsip bagi hasil yang memberi pembiayaan berdasarkan kinerja usaha yang akan dilakukan. Selain itu, diperlukan juga penawaran salam untuk pertanian dan istishna untuk konstruksi yang dimana memberikan dampak secara langsung pada sektor riil. Hal ini dapat memperkuat portofolio pembiayaan meskipun berada pada ketidakpastian ekonomi.

  • Digitalisasi Inklusif

Bank syariah harus bertransformasi digital terutama untuk mengatasi tantangan digital yang semakin berkembang. Oleh karena itu, penting untuk berinvestasi pada sistem digital seperti pengembangan aplikasi mobile, pemanfaatan AI untuk kredit scoring, dan integrasi QRIS. Sistem digital ini juga tidak terlepas dari pentingnya menjaga kepercayaan nasabah dari risiko keamanan seperti siber. Oleh karena itu, digitalisasi bukan hanya sekadar teknologi, namun bagaimana pola pikir atau inovasi dan perubahan layanan yang diberikan untuk semakin lebih baik.

  • Manajemen risiko

Kemampuan memproyeksikan adanya pembiayaan bermasalah menjadi krusial di tengah proyeksi perlambatan ekonomi nasional maupun global. Bank syariah perlu menerapkan sistem manajemen risiko yang real time. Selain itu, pembiayaan yang berpotensi besar akan pembiayaan bermasalah diperlukan restrukturisasi dengan tetap memperhatikan prinsip dan etika perbankan syariah.

  • Kolaborasi dengan lembaga lain

Lembaga zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) dapat bersinergi dengan bank syariah untuk memperkuat ketahanan ekonomi hingga masyarakat kelas bawah. Dana sosial dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan ekonomi, tidak hanya mempertahankan sistem perbankan syariah, namun juga berdampak pada sosial maupun ekonomi masyarakat.

            Perlambatan ekonomi menjadi tantangan terhadap stabilitas dan pertumbuhan pada sektor keuangan seperti perbankan syariah. Bank syariah di Indonesia memiliki potensi akan risiko pembiayaan, ditambah ketidakpastian global seperti inflasi yang dapat mempengaruhi preferensi nasabah terhadap produk pembiayaan dan mempengaruhi sektor UMKM. Oleh karena itu, ketergantungan pada sektor UMKM memiliki risiko tersendiri terutama harga bahan atau biaya produksi. Prinsip perbankan syariah, seperti prinsip bagi hasil dan larangan riba serta spekulasi memberikan fondasi dan ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun