"Kamu selalu menganggap keusilanmu sebagai lelucon," kata Pipit. "Tapi bagaimana jika sesuatu yang buruk benar-benar terjadi?"
Lipo terkejut. Ia mengira semua akan menganggap ini hanya permainan. Tapi melihat tatapan tajam para hewan, ia mulai merasa bersalah.
Ibu Gema menatap Lipo dengan mata penuh kemarahan dan kekecewaan. "Jika kamu benar-benar teman bagi Gema, kamu tidak akan melakukan hal seperti ini."
Lipo menunduk. Ia ingin membela diri, tetapi kali ini tidak ada alasan yang bisa ia berikan. Ia menyadari bahwa ia telah melampaui batas.
Sejak saat itu, para hewan menjaga jarak darinya. Tidak ada yang ingin bermain atau berbicara dengannya. Lipo mulai merasa kesepian, tetapi ia masih bersikeras bahwa ia tidak membutuhkan teman.
Namun, suatu malam, hujan deras turun. Tanah menjadi licin dan berlumpur. Lipo yang berjalan di atas dahan basah tiba-tiba kehilangan keseimbangan. "Waaah ...!" Ia tergelincir dan jatuh ke tanah yang penuh lumpur. Kakinya yang banyak justru membuatnya semakin sulit bergerak. Setiap kali ia berusaha bangkit, tubuhnya semakin tenggelam.
"Tolong ...! Ada yang bisa membantuku?!" teriaknya, suaranya penuh ketakutan. Tetapi tidak ada yang menjawab. Hanya suara hujan dan angin yang menemani malamnya.
Saat Lipo hampir putus asa, tiba-tiba terdengar suara langkah mendekat. "Lipo! Bertahanlah! Kami akan membantumu!" Itu suara Kuro di kura-kura tua, bersama hewan-hewan lain.
Mereka bekerja sama menarik tubuh Lipo dari lumpur. Monyet Miko mengulurkan ranting, burung Pipit membantu mengangkat tubuhnya dengan paruh dan Kuro menopangnya dengan tempurungnya yang kuat. Akhirnya, dengan usaha keras, mereka berhasil mengeluarkan Lipo dari jebakan lumpur.
Lipo terengah-engah, matanya penuh rasa terkejut dan malu. "K-Kenapa kalian menolongku? Aku sudah berbuat jahat kepada kalian ...."
Kuro tersenyum lembut. "Kami tidak ingin menjadi sepertimu, Lipo. Meskipun kamu usil, kami tetap temanmu."