”Aku bangga tinggal di negeri yang kaya”. Satu kalimat yang selalu tertanam dalam relung ini dengan segenap suka cita. Membawanya dalam setiap ramu seakan-akan patah lah jika berkesudahan. Namun patah yang sesungguhnya bukan tentang siapa yang pergi lalu tergantikan merujuk kepada suatu yang signifikan, melainkan ketika hilangnya adalah karena pemusnahan lalu yang datang membawa kesengsaraan. Maka dari itu intensitas sebagai seorang yang bangga untuk tinggal di negeri ini harus dibarengi bukan hanya dari rasa semangat menyongsong harapan setiap harinya tapi bagaimana cinta harus selalu dibarengi dengan aksi nyata untuk mencegah peristiwa derita.
Jauh dari suburnya hutan beton yang mengisi kota, ada Papua yang memiliki sejuta cinta, dibungkus dalam kekayaan sumber daya alam yang menjadi incaran oleh banyak penduduk kota sepeti Raja Ampat. Indah dengan pulau-pulaunya, rimbun dengan hamparan hijaunya, damai dengan kearifan lokalnya dan masih banyak lagi. Namun sayang, potensi yang dimiliki yang seharusnya dapat menunjang perkembangan ekonomi malah terancam akan eksploitasi pada satu komoditas yang sedang eksis di masa kini yaitu nikel.
Menggiurkan dan menjanjikan. Tidak bisa dipungkiri pengelolaan sumber daya alam memang penting untuk dilakukan, selain akan berdampak pada perputaran ekonomi hal ini dilandaskan untuk mencapai suatu kesejahtraan masyarakat yang akan diwujudkan dengan terbukanya lapangan pekerjaan. Namun terlihat pada kasus yang terjadi saat ini, hal ini justru menimbulkan suatu polemik yang senantiasa perlu untuk ditelusuri lebih lanjut. Karena pada dasarnya hilirisasi nikel merupakan wacana yang keliru mengingat masa depan Papua tidaklah bergantung pada ekploitasi mineral yang dapat merusak melainkan pengembangan potensi yang harus selalu dilestarikan.
Pariwisata di Raja Ampat merupakan suatu aset yang tidak ternilai. Meskipun kita semua tau nikel adalah primadona yang sangat dibutuhkan dalam industri modern, tetap saja aktivitas penambangan nikel pasti akan menimbulkan jejak kerusakan apalagi di wilayah sensitif seperti Raja Ampat. Disforestasi, resiko pencemaran air dan kerusakan terumbu karang menjadi ancaman nyata yang tidak hanya berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat, tetapi pada ekositem pariwisata yang menjadi salah satu pendukung dalam pengembangan ekonomi. Sehingga ada pertaruhan yang timpang dari hal tersebut.
Dengan demikian diperlukan adanya suatu alternatif yang dapat mencegah ancaman tersebut, salah satunya adalah dengan pembangunan infrastruktur jalan. Pembangunan jalan adalah suatu investasi jangka panjang yang bisa dilakukan untuk membuka akses menuju tempat-tempat yang sulit untuk dijangkau. Dengan akses yang baik tidak hanya akan bedampak pada kemudahan aktivitas pariwisata melainkan juga aktivitas masyarakat. Jalan yang baik akan membantu masyarakat lokal tidak hanya dalam upaya perputaran ekonomi tetapi juga mengakses fasilitas-fasilitas pelayanan seperti kesahatan dan pendidikan. Hal-hal tersebut dapat menjadi modal utama untuk membantu masayarakat dalam mengembangkan pariwisata yang mana mereka dapat berperan menjadi tokoh utama untuk memasarkan produknya, berbeda dengan tambang yang akan menimbulkan banyak sekali ”korban” salah satunya adalah lingkungan. Sehingga upaya pembangunan ekonomi yang lebih banyak bertumpu pada sektor parwisata berbasis keindahan alam akan membawa siklus positif yang akan terus berkelanjutan berbeda dengan nikel yang dari waktu ke waktu cadangnnya akan menipis.
Singkat dan melekat, itulah yang akan terjadi ketika pertambangan nikel di Papua tetap dilanjutkan. Namun akan menjadi bertingkat-tingkat dan melekat jika kelestarian alam tetap dijaga. Fokus kepada pembangunan infrastruktur yang konservatif untuk mendukung pembangunan berkelanjutan adalah keputusan yang tepat. Daripada merelakan setiap titik hingga menjadi masif yang hanya akan membawa kita pada rindu yang fiktif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI