Mohon tunggu...
Lina Noprianti
Lina Noprianti Mohon Tunggu... -

saya anak tunggal

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Remisi Koruptor, Kemunduran atau Kemajuan?

1 April 2015   21:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:40 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika di Singapura, korupsi merupakan masalah serius dengan hukuman yang berat bahkan hukuman mati maka lain halnya dengan Indonesia yang sudah menjadikan korupsi sebagai kebiasaan yang turun temurun layaknya budaya yang terus dipertahankan yang karenanya berdampak negatif bagi negarayaitu mengalami  kerugian dan membuat rakyat jatuh miskin. Bahkan bisa dikatakan bahwa seluruh instansi publik baik di pemerintahan pusat maupun daerah semuanya telah menjadi ladang subur bagi para koruptor untuk mengembungkan kantong masing-masing. Hampir tidak ada rasa malu diantara pejabat yang telah disumpah untuk memajukan negaranya malah bersikap kongkalikong bila berurusan dengan instansi atau lembaga pemerintah. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Indonesia masuk daftar negara dengan peringkat 1 bagian Asia Pasifik dan 107 di dunia dengan kasus korupsi terbanyak. Wow, menakjubkan untuk negara yang sedang berkembang.

Sebenarnya dalil serta komitmen dari pemerintah untuk memberantas korupsi sudah di gembar gemborkan sejak masa orde baru dengan dikeluarkannya Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Hanya saja dalam pelaksanaannya bukan mengarah ke pelaksanaan yang baik tetapi malah berujung ke protes dan demonstrasi massa yang dilakukan rakyat indonesia saat itu. Bahkan bukan itu saja, usaha untuk memberantas korupsi juga sering dibombardir oleh para calon kepala negara dengan cengkok gaya bahasa nyeleneh yang akan menjadi garda depan dalam usaha untuk memberantas korupsi. Namun kenyataannya, bukannya berkurang kegiatan korupsi malah semakin membudaya dalam masyarakat Indonesia.

Di saat pemerintah sedang giat-giatnya memberantas korupsi hingga memberikan hukuman setimpal dengan tujuan memberikan efek jera, tiba-tiba muncul wacana baru dari Kemenkumham yang ingin memberikan korting hukuman kepada para koruptor dengan dalih bahwa semua narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyrarat, pendidikan, dan pelayanan. Sungguh ironis bukan negeri kita saat ini, disaat ada banyak kasus yang seharusnya lebih membutuhkan remisi, tetapi Kemenkumham malah memberikannya kepada para penjahat besar. Seperti yang dikutip dari Republika.co.id, bahwa Kemenkumham berencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat (PB) untuk terpidana korupsi, narkoba, terorisme, kejahatan HAM berat serta kejahatan transnasional yang terorganisasi.

Tetapi yang jadi pertanyaan di kalangan masyarakat dan sebagian petinggi negara, mengapa harus para koruptor yang di berikan remisi sementara ada banyak narapidana yang lebih baik diberikan kortingan seperti para pelaku tindakan kejahatan dari golongan menengah. Wacana ini menjadi perbincangan yang berat karena korupsi merupakan masalah yang sangat sensitif untuk dibicarakan di negeri kita ini mengingat banyaknya kerugian negara yang diakibatkan oleh para pelaku koruptor tersebut. Bahkan yang lebih parah lagi pertumbuhan ekonomi terganggu ketika penguasa dan para pejabat tinggi menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan dana publik.

Selain itu tidak hanya merampok hak asasi masyarakat miskin, korupsi juga menciptakan masalah pemerintahan dan instabilitas. Dan jika remisi tehadap koruptor ini tetap di laksanakan maka ini merupakan langkah mundur dari semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi di negara ini. Dan bukan tidak mungkin keputusan tersebut bukan mengurangi tingkat korupsi di Indonesia tetapi malah menjadi jalan tikus dari para pejabat di tingkat bawah untuk belajar berkorupsi.

"Korupsi itu kanextra ordinary crime. Jadi kita sikapinya juga mestiextra ordinary. (Kalau diberi remisi) itu berarti kan yang extra ordinary kan jadi ordinary," ujar Hasyim Muzadi.

Begitulah celoteh seorang Hasyim Muzadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) yang dilansir dari Liputan6.com mengenai kabar bahwa akan adanya remisi untuk para koruptor. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa ada banyak pihak dari kalangan elit politik yang juga menolak mentah-mentah adanya pemberian remisi tersebut. Jadi dapat ditarik satu garis lurus  bahwa  jika para pelaku korupsi ini diberikan remisi atau kortingan hukuman bukan tidak mungkin akan menambah jumlah para pelaku korupsi di Indonesia sehingga ujung-ujungnya negara yang akan mendapat imbas negatif kerugiannya.

Jika ditilik dari segi HAM nya, sebenarnya sah-sah saja pemberian remisi tersebut hanya saja jika hal tersebut dilakukan takutnya ada sebagian pihak-pihak yang menganggap bahwa pemberian remisi sama dengan pemberian dukungan kepada para pelaku sehingga secara terus menerus melakukan korupsi tanpa perlu khawatir terhadap hukuman yang akan diterimanya suatu saat nanti. Dan yang perlu ditawarkan oleh pemerintah agar tidak terjadi kemunduran integritas negara, adalah pemberian hukuman yang setimpal sehingga dapat menimbulkan efek jera.

Dan yang sekarang dapat kita lakukan adalah hanya menunggu keputusan presiden mendukung korupsi atau memberantas korupsi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun