Ada hari-hari yang biasa, dan ada hari yang mengguncang langit. Hari Arafah bukan hanya tanggal dalam kalender Islam---ia adalah detik-detik di mana langit menunduk, bumi menangis, dan manusia dibiarkan telanjang di hadapan Tuhannya.
Hari ini, bumi terasa lebih lirih. Matahari menggantung tinggi tanpa ampun, tapi hati justru terasa semakin dalam, semakin sunyi. Hari Arafah tiba seperti angin yang menggugurkan daun-daun ego, menyapu bersih topeng-topeng yang kita kenakan terlalu lama. Tak ada lagi gelar, tak ada jabatan, tak ada pencitraan---yang tersisa hanya aku, dan kesadaranku bahwa aku hamba yang terlalu sering tersesat, tapi terus diberi kesempatan untuk kembali.
Aku tak berada di Arafah secara fisik. Tapi jiwaku bersimpuh di sana. Tersungkur, seperti anak hilang yang akhirnya pulang dengan kaki berdarah dan hati penuh luka.
Di hari ini, semua doa adalah bahasa air mata.
Aku menyebut nama-nama yang kucinta. Ibuku---perempuan renta yang malam-malamnya lebih sering diisi zikir daripada tidur. Ayahku---laki-laki diam yang cintanya tumbuh seperti akar: dalam dan tersembunyi. Adik-adikku. Anakku. Sahabat-sahabat yang dulu pernah mengangkatku saat aku tumbang. Juga orang-orang yang meninggalkanku tanpa sebab---aku sebut mereka, bukan karena dendam, tapi karena aku ingin melepaskan.
Aku menyebut mereka satu-satu, seperti memanggil nama di tengah badai, berharap Tuhan menoleh dan berkata, "Aku tahu. Aku dengar. Aku tak pernah pergi."
Di hari ini, aku juga menyebut namaku sendiri.
Bukan untuk meminta lebih banyak, tapi untuk memohon agar aku tak lagi jadi manusia yang mudah patah hanya karena dunia tak sesuai rencana.
Karena aku sadar...
Tak semua doa harus terkabul agar hidup terasa cukup.
Kadang, cukup itu datang saat hati bisa ridha, saat luka bisa kau terima sebagai bagian dari takdir, bukan kutukan.
Hari Arafah adalah panggung paling agung bagi jiwa-jiwa yang ingin pulang.
Tak perlu fasih doa-doa panjang.
Tak perlu bersuara keras.
Cukup menangis. Cukup bergetar. Cukup patah...
Karena saat itulah Tuhan menjadi paling dekat.
Ia tak meminta kita sempurna.
Ia hanya ingin kita jujur---bahwa kita rindu.