Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cemburu] Mencemburui Anak-anak Desa Bertelanjang Dada

4 November 2018   06:46 Diperbarui: 4 November 2018   07:17 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore ini agak berbeda dengan hampir semua sore lainnya dalam kurun hampir enam bulan belakangan ini. Pada jam-jam segini, biasanya matahari masih cukup garang memancarkan panasnya ke bumi. Namun, kali ini ia lebih ramah pada planet kami. Ia menyimpan panasnya entah di mana. Entah apa pula yang membuatnya berbaik hati kali ini.

Jam digital di dashbord mobil menunjukkan angka yang belum terlalu senja, 16:23. Aku sedang dalam perjalanan pulang usai mengikuti sebuah acara bertajuk rapat kerja di kota bakpia. Kami berombongan empat orang bersama-sama dengan kolega sekantor. Perjalanan yang harus kami tempuh sekira dua hingga tiga jam lamanya.

Untuk memangkas jarak, mobil yang kami tumpangi mengambil beberapa jalan pintas melewati jalan desa. Meskipun agak berdebu, rata-rata jalanan yang kami lalui cukup baik kondisinya. Jalan desa itu pun hampir seluruhnya telah dipadatkan dengan aspal.

Selepas barisan ladang jagung sepanjang kira-kira dua ratus meter di kiri kanan jalan, pandanganku tertumbuk pada sebuah lapangan yang terbentang di salah satu tepi jalan di sisi kiri kami.

Sebuah lapangan sepak bola yang amat sederhana bila tak ingin mengatakannya asal ada. Permukaan tanahnya agak bergelombang dengan ketinggian rumput yang sangat tidak rata. Bahkan pada beberapa bagian, rumput sama sekali tidak tumbuh. Aku yakin, bila hujan mendera, lapangan itu akan tergenang air berwarna coklat tua dan berselimutkan lumpur bak kubangan kerbau.

Dua buah gawang yang terbuat dari batang bambu tanpa jaring tertancap pada kedua ujung lapangan, telah kelihatan renta dengan brocel-brocel  pada sebagian besar permukaannya. Dan sudah pasti, lapangan itu tak dilengkapi dengan garis pembatas serta bendera-bendera pada keempat sudutnya layaknya lapangan bola untuk pertandingan-pertandingan kelas liga.

Di tanah lapang itu aku menyaksikan keseruan masa lalu. Belasan anak-anak desa, sebagian bertelanjang dada, mengejar-ngejar sebuah bola plastik yang bergulir dan memantul-mantul liar di atas permukaan lapangan yang tampak keras dan bergelombang.

Tanpa alas kaki, mereka tak sedikit pun menampakkan kekhawatiran tersandung batu atau menginjak pecahan botol yang dibuang orang pada tempat yang tidak semestinya. Sangat mungkin bertebaran barang-barang berbahaya di lapangan mengingat kita berada di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat kesadaran membuang sampah yang belum begitu terasa.

Sekilas tampak air muka bocah-bocah dusun itu memancarkan kegembiraan. Teriakan-teriakan mereka terdengar tanpa beban, mengiringi ayunan kaki-kaki kecil berdaki itu mengejar si plastik bundar. Tidak kelihatan sedikit pun gurat kecewa apalagi amarah. Sungguh sederhana apa yang mereka lakukan. Mungkin sesederhana itu pula harapan mereka.

Sayangnya, aku tak bisa berlama-lama menyaksikan pemandangan yang mengajakku sejenak bertamasya ke masa silam. Laju kendaraan telah membawaku meninggalkan keriuhan anak-anak di belakang sana.

Aku jadi mengingat masa-masa kecilku sebagai bocah yang tinggal di desa tak jauh dari perbatasan provinsi Jawa Tengah dengan Daerah Istimewa Yogyakarta. Cukup dengan sebuah bola plastik dan sebidang lapangan ala kadarnya, serta tentu saja beberapa kawan seusia, kami bisa sangat bergembira. Tidak peduli akan sengatan panas atau guyuran hujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun