Mohon tunggu...
Mohammad Iman Mahlil
Mohammad Iman Mahlil Mohon Tunggu... Auditor - Fraud Examiner and Investigator

Sudut pandang kita berbeda, bahkan data yang sama bisa diartikan berbeda. Mari kita analisa data bersama walaupun interpretasi berbeda

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Indonesia Gagal Mengentaskan Korupsi?

17 Juli 2019   10:21 Diperbarui: 17 Juli 2019   11:03 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bertahun-tahun kita dimanjakan berita penangkapan pelaku korupsi, tidak pernah berhenti dan selalu bertambah. Terkadang kita bangga bahwa Indonesia berhasil melawan korupsi. Bolehkah saya katakan bahwa penangkapan pelaku korupsi adalah kegagalan dalam pengentasan korupsi?

Apa yang harus dilakukan seseorang agar bisa melakukan korupsi? Si Koruptor harus berada dalam sistem, saya coba urutkan secara simple bagaimana seseorang bisa melakukan korupsi (tidak hanya berlaku bagi penyelenggara negara saja) :

  1. Mendaftar masuk ke sistem
  2. Seleksi Administrasi
  3. Seleksi Lanjutan (Test atau pemilihan dll)
  4. Berada di posisi "decision maker" atau yang bisa mempengaruhinya

Setelah berada pada tahap keempat baru seseorang bisa melakukan korupsi. Kenapa si calon Koruptor tidak dicegah sejak tahap pertama? Kenapa harus menunggu pada tahap terakhir baru ditangkap? Apakah ini bisa disebut gagal? 

Anda akan menjawab "Tidak, karena kita tidak bisa memprediksi seseorang melakukan korupsi atau tidak", sayangnya bisa, kita bisa memprediksi kecenderungan seseorang untuk menjadi Koruptor sejak dini. Jika seperti ini, apakah orang-orang pada tahap satu sampai dengan tiga akan dimintain pertanggungjawaban?

Saya akan mencoba menjelaskan sedikit ilmiah. Korupsi hanya satu dari 3 jenis fraud. Kedua jenis fraud lainnya sama berbahayanya dengan korupsi, yaitu : Asset Misappropriation dan Financial Statement Fraud. Korupsi sendiri terdiri atas 4 jenis, seperti yang terlihat pada fraud tree.

Saya akan mengabaikan pertanyaan "Kenapa Indonesia fokus pada salah satu fraud saja ya? Apakah jenis fraud lain tidak terjadi di Indonesia?". Karena saya tentu tidak memiliki wewenang untuk membahasnya. Saya akan fokus pada bagaimana mencegah korupsi sebelum si calon koruptor melakukan korupsi, bukan mencegah secara sistem, karena tentunya sudah banyak artikel mencegah fraud, tapi kali ini kita bahasa bagaimana kita mengetahui seseorang akan berbuat fraud sehingga dapat dicegah masuk ke dalam sistem.

Organisasi anti-fraud terbesar di dunia ACFE (Association of Certified Fraud Examiners) menggunakan teori Donald Cressey dalam memetakan 3 (tiga) hal yang harus terpenuhi agar seseorang dapat melakukan fraud, yang dikenal dengan Fraud Triangle.

Seorang pelaku fraud (Koruptor salah satunya) harus memiliki tiga hal ini agar fraudnya dapat berjalan :

  1. Opportunity/Kesempatan : Biasanya disebabkan kelemahan sistem atau pengawasan
  2. Motive/Motivasi : Harus ada niat tertentu atau tekanan melakukan sesuatu, gaya hidup misalnya
  3. Rationalization : Harus ada anggapan bahwa yang dilakukan benar atau tahu bahwa yang dilakukan salah namun suatu saat akan dikembalikan.

Para expert dan hasil research membuktikan bahwa jika tidak ada salah satu dari ketiga tersebut maka fraud tidak akan terjadi. Opportunity atau peluang selalu saja akan terbuka, ACFE dalam Report to The Nation menyebutkan bahwa fraud paling banyak terjadi karena kelemahan internal control. Sehebat apapun pengawasan, tetap saja kita bisa mendengar adanya korupsi/fraud, pengawasan sangat penting tapi pengawasan hanya pencegahan di satu sisi.

Motive/Pressure kemungkinan akan semakin meningkat di era ini. Gaya Hidup dan konsumsi semakin tinggi, bisa jadi karena peningkatan kualitas hidup tapi mungkin lebih tepat karena akses semakin mudah, barang-barang konsumtif yang sangat mudah ditawarkan melalui smart phone, yang dimiliki semua orang, sejalan dengan pinjaman yang sekarang lebih mudah didapatkan, baik secara online maupun kartu kredit. 

Dan barang konsumtif memiliki domino efek, salah seorang diantara komunitas anda membelinya maka dengan cepat pembelian barang yang sama atau bahkan barang yang lebih bagus akan terjadi. 

Bagaimana rasionalisasi? Berapa banyak anda mendengar teman atau saudara anda mengeluh bahwa gaji yang diberikan oleh negara atau tempat dia bekerja tidak cukup?

 Bagaimana dia telah bekerja keras tapi tidak merasa di hargai dengan cukup? Atau pernah mendengar kata-kata menyesatkan : "Cari yang haram saja susah apalagi yang halal"? Semua perkataan-perkataan rasionalisasi tadi banyak kita dengarkan di sekitar kita, kedengarannya sepele tapi berarti didalam hati dia telah muncul benih-benih seorang fraudster/koruptor.

Saya berikan contoh simple bahwa dalam diri kita tertanam benih sebagai seorang fraudster atau koruptor. Anda pernah melanggar aturan lalu lintas dengan alasan polisi tidak ada? Anda coba lihat fraud triangle diatas, semua hal terjadi dalam kejadian tersebut, "Tidak ada polisi" adalah opportunity, "Kepingin cepat" adalah Motive dan "Tidak membahayakan yang lain kok/ Hanya sekali kok/ Berikutnya tidak lagi" adalah Rationalization. Beruntungnya kita tidak mendapatkan posisi decision maker, jangan-jangan kalau kita menjadi decision maker bisa jadi kita lebih dahulu di penjara dibandingkan mereka-mereka yang sekarang di penjara.

Jadi bagaimana mengukur kadar benih fraudster atau koruptor dalam diri seseorang, agar ybs bisa di stop sebelum masuk ke dalam sistem. Beberapa tahun lalu saya pernah mengirimkan jurnal/makalah untuk Kongres ACFE Asia di Hong Kong, yang membahas tentang RassOp Test. Test ini adalah test yang saya buat untuk mendeteksi kemungkinan seorang calon pekerja/pejabat/penyelenggara negara akan melamar atau mencalonkan diri, dan berbeda dengan integrity test.

Pada umumnya sebelum menerima seseorang kita melakukan test untuk mengetahui Potensi Akademik seseorang dan bagaimana Psikologinya, tapi belum pernah dilakukan test untuk mendeteksi kemungkinan fraud-nya. RasOP Test akan memberikan map dari pikiran seseorang, bagian mana dari pikiran tersebut yang akan berpotensi melakukan fraud jika ada kesempatan. 

Ketika seseorang dengan kecenderungan untuk melakukan fraud yang kecil, ketika muncul oppurtunity ataupun ada pressure yang kuat, salah satu sisi dari rasionalization akan menahannya.

Mungkin anda sering mendengar kata-kata "Mencegah lebih baik dari mengobati". Para Koruputor-koruptor yang telah tertangkap merupakan orang sakit yang harus diobati dengan penjara, mari kita cari orang-orang sehat untuk masuk ke sistem kita, sehingga kita tidak perlu mengobati lagi.

Untuk menjawab pertanyaan di judul, Indonesia belum gagal dalam mengentaskan korupsi, Indonesia cukup berhasil untuk memberitahu para calon-calon Koruptor apa efek dari korupsi di Indonesia, namun Indonesia harus bisa mencegah para calon Koruptor masuk ke dalam sistem, sehingga tidak perlu penangkapan-penangkapan atau OTT lagi, karena korupsi sudah tidak ada karena Koruptornya memang tidak ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun