Kejadian ini berawal dari semangat tanggung jawab sang ayah terhadap kekhilafan yang dibuat oleh sang anak, yaitu lalai menggunakan uang ditempat anak bekerja di BPR. Sejumlah hitungan versi mereka kira-kira 94 juta.
Sang ayah, yang kesehariannya sebagai petani sayur yang lugu dan tidak banyak memiliki pikiran alternatif dalam menyelesaikan masalah. Hanya memiliki aset berupa SHM rumah. Maka akibat panik dan rasa takut, muncul ide menyelesaikan hutang anak dengan perjanjian kredit, dan menjaminkan SHM miliknya yang sebelumnya sudah berada di BPR lain.
Disinilah peran penting dari BPR dalam menentukan apakah petani sayur itu memiliki kemampuan untuk membayar angsuran dalam perjanjian kredit tersebut atau tidak?. Apakah 3,8 juta perbulan itu mampu dihasilkan oleh petani sayur setiap bulannya?.
Dasar BPR yang penting untung, yang penting ada jaminan yang bisa dilelang, tidak peduli debitur mampu atau tidak, maka disinilah munculnya wajah BPR sebagai "ULAR BERBISA" yang siap mematuk mangsanya kapan saja hingga mati. Dan BPR melupakan perannya sebagai pendukung perekonomian rakyat, tapi justru menjadi garda terdepan yang mematuk ekonomi rakyat kecil hingga mati. Rakyat yang sudah tidak mampu, rumahnya dilelang dan akhirnya semakin miskin tidak punya tempat tinggal.
Waktu terus berjalan, skenario perjanjian kredit, 120 juta, gabungan total dana dari uang yang dipakai oleh anak, take over, dan administrasi bank. Disisi lain anaknya tersebut akhirnya tidak lagi bekerja, keluar tanpa hitam diatas putih, setelah hampir 5 tahun bekerja. Begitu nampak nasib orang yang dianggap miskin benar-benar diinjak harga dirinya, atas nama moralitas.
Kekhawatiran buruk pun benar-benar terjadi, hampir setahun sang ayah yang hanya petani sayur itu tak bisa mengangsur, sebab setiap harinya hidup pas-pasan dari menjual sayur yang ditanamnya dari lahan sawah yang disewa. Anaknya pun hanya bekerja membantu sang ayah.
Sang ayah sering menyampaikan pada pihak bank, berjanji membayar angsuran yang menunggak menunggu rumah anak pertamanya laku dan akan mendapatkan pinjaman untuk menutup angsuran yang telah menunggak hampir setahun. Dan ketika benar-benar mendapat uang pinjaman 40 juta dari anak pertamanya, sang ayah datang ke pimpinan BPR, namun ditolak dengan dalih  sudah didaftarkan lelang. BPR kencang mengikuti aturan SOP, dan obyek jaminan sudah akan dilelang. Namun sebelumnya BPR lalai menerapkan aturan perjanjian pemberian kredit tentang kapasitas bayar debitur.
Jarak BPR yang cukup dekat dengan rumah petani sayur, memastikan pihak bank tahu persis realita kehidupan petani sayur sehari-hari. Loyalitas anak petani sayur yang seringkali pulang malam, karena membersihkan dan menunggu kantor. Ibarat seperti keluarga sendiri tak berbekas sama sekali. Inilah potret nyata wajah kemanusiaan, yang seringkali menunjukkan sisi "dumeh karo wong cilik", padahal mereka juga tahu "siapa yang sedang berlaku dholim, maka sesungguhnya doa orang yang didholimi tak ada penghalang dengan Tuhan".
Jika saja BPR sedikit bijak dan mau menggunakan nuraninya, mereka tidak akan memberikan kredit terhadap orang tidak mampu, dan lebih memilih penyelesaian persoalan secara kekeluargaan, agar sang ayah menjual asetnya sendiri untuk menutupi hutang anaknya. Dengan kesepakatan yang lebih manusiawi dan tidak semakin memberatkan atau semakin membebani. Sebab memberikan kredit yang tidak sesuai kapasitas bayar sang ayah, sama saja dengan mendorong sang ayah pada kehancuran yang lebih parah. Hutang pokok 120 juta kini menjadi 250 juta lebih akhirnya. 3,8 juta perbulan selama 5 tahun jika ditotal 228 juta. Namun kini dengan melelang jaminan, jumlah itu dapat dicapai hanya dalam setahun saja. Dimanakah nurani mereka???!!!
Hati-hati BPR "Ular Berbisa"!!!!..