Mohon tunggu...
Lila Delila
Lila Delila Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bumi Biru

Ketika senja menjadi suatu waktu yang kutunggu...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Saya Termasuk yang Tidak Begitu Setuju dengan Istilah "Emak-emak"

19 September 2018   10:28 Diperbarui: 19 September 2018   20:39 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini sering muncul istilah 'emak-emak', terutama di dunia perpolitikan. Tulisan ini tidak memfokuskan pada masalah yang menyerempet politik itu sendiri, melainkan pada masalah pemilihan kata 'emak'.

Batasan frasa 'emak' adalah kaum ibu, sudah berumah tangga, dan mengerucut pada himpunan mereka yang tidak memiliki profesi tetap.

Kita memahami definisi kata 'emak', namun penggunaan kata itu sendiri, pada masyarakat jaman now, sudah amat jarang digunakan. Itu berlaku pada segala strata.

Ada perkecualian tentunya, sebutan 'emak' masih umum berlaku yakni untuk keluarga-keluarga di daerah, atau untuk kelompok orang berusia tua dengan pekerjaan tertentu. Misalnya mak Erot yang memiliki bisnis erotis itu. Maksudnya ya, mak-mak yang satu ini memiliki mata pencaharian dengan membesarkan 'sesuatu' yang hanya dimiliki kaum adam.

Di jaman sekarang ini, sebutan wajar yang digunakan seorang anak untuk memanggil wanita yang melahirkannya, adalah 'ibu', 'bunda', atau 'mama'. Elegan kedengarannya. Sudah jarang, seorang ibu di daerah perkotaan atau metropolitan mau dipanggil anaknya dengan sebutan 'emak. Nggak keren.

Bahkan di TK-TK, para ibu akan memanggil ibu yang lain dengan panggilan mama 'X'. Jadi misalnya, seorang ibu bernama Dian, mengantar anaknya yang bernama Andi, maka di area TK tersebut ia akan disapa sebagai mama Andi. Lupakan nama Dian itu sendiri.

Selama mengantar, menjemput, atau menunggu anaknya (yaitu si Andi) di TK, ibu-ibu dari murid-murid yang lain (orang tua murid) akan memanggil Dian sebagai mama Andi. Tak pernah ada yang protes dengan aturan tak tertulis tersebut. Malahan indah kedengarannya. Ingat, bukan dipanggil sebagai 'emak Andi' lho. Kaum ibu sejati tidak suka atas sebutan 'emak', kecuali sedang bercanda atau kondisi negatif lainnya.

Sebagai perbandingan, merujuk pada kaum hawa yang menyandang status atau kondisi terhormat, sepertinya hampir-hampir tak ada yang dipanggil 'emak'. Para aktivis wanita tak pernah disebut aktivis emak-emak. Atau ilmuwan emak-emak. Atau menteri emak-emak.

Panggilan emak, terasa sejajar dengan 'babe' (Bapak) dan itu juga hanya digunakan masyarakat modern ketika menghadapi situasi dan kondisi yang kurang nyaman (baca: mengesalkan). Contohnya adalah pada saat lalu lintas macet gegara rombongan Menteri/ VVIP lewat- yang dikawal kendaraan bersirene - untuk 'meminta' akses jalur privilese. Pengguna lalin yang harus mengalah, menepi, memelankan kendaraannya, akan mengatakan,"Biasa, babe lewat..."

Lain halnya jika sesorang ber-swafoto bersama Menteri tersebut, tentu ia akan berkata,"Saya tadi ber-swafoto dengan Bapak Menteri." (tidak menyebut 'babe' lagi)

Demikian juga ketika sekerumunan anak kecil bermain dan mengganggu sekitarnya, misalnya bermain layangan di pinggir jalan raya, berenang dan bermain di air tergenang/ banjir, maka masyarakat yang melihatnya akan bereaksi dengan berujar,"Dasar bocah-bocah.."

Berbeda kasusnya, pada seseorang yang bertandang ke rumah seorang pejabat A, misalnya. Ia akan mengatakan telah bersua dengan anak-anak bapak A, atau putra-putrinya, dan tak akan pernah berani mengatakan bocah-bocah bapak A.

Berempati pada semua pihak (termasuk ibu-ibu rumah tangga yang tak berprofesi) untuk menyuarakan kebenaran adalah sah-sah saja, namun tidak lantas berarti bersimpati dan menyetujui mobilisasi golongan tersebut demi grup politik tertentu. Apalagi kala komunitas itu bergerak/ bersuara (feminisme/ women's lib?), tanpa memiliki dasar pengetahuan politik yang kuat, tentu kontennya akan rapuh, bahkan rawan disetir.

Memang inilah dilema lema emak. Ada yang merasa tak terganggu, ada yang merasa tidak 'pas', baik menurut asal katanya maupun status/ peranannya dalam perpolitikan menjelang Pemilu ini.

Bagi yang merasa tak keberatan, konsekuensinya ia juga akan oke-oke saja jika istrinya disebut sebagai mak Fulan, dan anaknya juga dipanggil bocah Fulan.

Lalu, mengapa terasa sesuatu yang mengganjal ganjil?

                                                                 ----****----

*) Tulisan ini ditulis, sependapat dengan komentar Noverita Hapsari di harian Kompas hari ini

*)  Izin mengutip dari ybs

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun