Mohon tunggu...
Lilis Wahyoeni
Lilis Wahyoeni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menulis mengasyikan duniaku..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asyiknya Hidup di Jakarta

16 Juni 2013   23:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:55 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita soal hidup di Jakarta ? Hmmmm...begitu banyak yang mesti saya ceritakan, meskipun cuma numpang hidup selama tujuh tahun, tapi begitu banyak kenangan indah dan mengasyikan selama merantau di Ibukota.Menengok sekilas cerita saya, kenapa sampai jadi orang perantauan di sana, itu semua berkat Bapakyang memaksa saya untuk merantau ke Jakarta, karena melihat anak gadisnya cuma mengurung diri di kamar selepas menyelesaikan sekolahnya.

Di pertengahan tahun 1995, dengan amat sangat terpaksa saya tinggalkan kampung halaman tercinta, menuju ibukota, berbekal ijasah dan uang seadanya, berangkatlah ke Ibukota bersama seorang sahabat yang telah sukses. Sekalipun tak pernah terlintas dalam benak saya, akan bekerja di Jakarta, tapi itulah yang terjadi. Selama dua minggu menjadi pencari kerja di belantara Ibu kota. Tak peduli terik mentari membakar, atau deras hujan mengguyur kususuri jalanan Jakarta untuk sekedar mendapat pekerjaan apapun itu, yang penting halal. Dari pintu ke pintu kutawarkan sebuah nama, Ebiet G Ade banget ya ?

Atas bantuan seorang sahabat, sayapun mendapat pekerjaan yang layak, meskipuntidak sesuai dengan angan - angan, tetapi tidak menjadi masalah yang penting bisa untuk biaya hidup sehari – hari cukuplah. Urusan lain – lain pikir belakangan. Pokoknya di buat asyik sajalah. Hari demi hari kulewati tanpa halangan berarti, meski terkadang gagap budaya dan menjadi bahan tertawaan teman, karena bahasa saya yang masih medok Jawa. Kujalani hari – hari penuh rasa syukur dan senang.

Hingga suatu saat, berkat niat, tekad dan sedikit nekad untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi, saya di terima di perusahaan asing yang cukup besar. Ada kebanggaan tersendiri ketika menyadari, ternyata saya mampu menaklukan Ibukota, yang ternyata tidak sekejam yang saya bayangkan. Kenapa ? Seperti asumsi banyak orang bahwa idiom Kejamnya Ibu Tiri tak Sekejam Ibu Kota itu, tak pernah saya alami. Alhamdulillah.

Sibuk, terburu - buru dan macet adalah dinamika yang saya nikmati setiap hari, menjadi rutinitas yang mengasyikan.Di dera macet tak menjadi halangan untuk tetap mencintai perjalanan menuju tempat bekerja. Tak jarang saya malah menikmati pemandangan dari dalam bis kota, pekerja yang lalu lalang di depan mata, tak terkecuali pekerja informal yang memenuhi jalanan Ibukota, yang tentunya semua mungkin seperti saya mempunyaicita – cita dan semangat tinggi untuk mencari penghidupan di Jakarta.

Pernahkah saya mengalami banjir ? Tiap tahun pemirsa ! Karena saya tinggal di daerah Kelapa Gading, Jakarta Utara tahu kan ya, di sanalah banjir menjadi amat terbiasa bagi warganya, termasuk saya. Naik perahu karet ataupun jalan kaki dengan air setinggi paha orang dewasa adalah menjadi biasa bagiku. Sedihkah ? Enggak juga karena semua saya nikmati berkah air melimpah dari Allah ini. Mau menyalahkan siapa ? Kota Bogor yang rajin mengirim banjir atau pembangunan Ibukota yang membabi buta ? Daripada capek hati dan pikiran lebih baik dinikmati saja bukan ?

Mungkin heran ya, kenapa hidup di Jakarta saya bilang asyik, setidaknya di sinilah saya menemukan pasangan hidup, belahan jiwa yang kini telah menjadi Bapak dari kedua buah hatiku, di sinilah pertama kali mengarungi bahtera hidup baru, pengalaman kehamilan pertama yang menakjubkan, melahirkan dan belajar menjadi ibu di perantauan jauh dari sanak saudara. Kebayang kan asyiknya ?

Tapi pernah juga mengalami kejadian yang amat sangat tidak mengasyikan tatkala euphoria reformasi pecah pada bulan Mei 1998, betapa Jakarta sangat mencekam. Saya sempat berlari – lari dan mengungsi, kerjapun libur selama 10 hari, betul – betul kejadian yang tak akan pernah hilang dari benak. Krisis moneterpun menjadi sebuah mimpi buruk, akan tetapi lagi – lagi saya selalu bersyukur bahwa saya tak mengalami imbasnya dengan sebuah keputusan Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ), saya masih bisa bekerja, masih bisa melanjutkan mimpi menjadi orang sukses di Jakarta, walaupun pada akhirnya saya harus kembali ke satu muara yaitu kampung halaman tercinta, karena sesuatu dan lain hal. Tapi apapun dan bagaimanapun yang pernah saya alami di Jakarta adalah pengalaman paling mengasyikan dalam sejarah hidup saya.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun