Kompasiana.com - Pajak sering disebut sebagai "nafas negara". Dari jalan raya sampai jembatan, dari sekolah hingga rumah sakit bahkan hampir semua hasil pembangunan tak lepas dari uang rakyat yang disetorkan lewat pajak. Tapi, belakangan, tingkat kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak justru menurun drastis. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tahun 2025 mencatat, hanya 71% masyarakat yang taatpajak, turunjauhdari 85,75% di tahunsebelumnya.
Pertanyaannyasederhana: apakah masyarakat memang tidak mau bayar pajak? Atau ada alasan dibalik ketidak inginan tersebut?
Banyak ahlimenilai, persoalannya bukan sekadar kemampuan finansial. Masyarakat bukan tidak berkontribusi, tetapi hal yang paling penting justru diabaikan oleh negeri rasa yang harusnya dibangun oleh para pemerintah malah dihancurkan dengan begitu mudah. Masyarakat kehilangan kepercayaan. Ketika berita korupsi pajak terus bermunculan bahkan sudah menjadi budaya yang turun temurun, ketika pejabat justru mendapat fasilitas lebih, dan ketika sistem dirasa tidak adil dan rasa percaya itu perlahan terkikis. Masyarakat yang berharap besar dengan nasib negara ini sepenuhnya pada pemerinta, lantas kepada kepercayaan tersebut malah pemerintah manfaatkan untuk kepentingan kelompok oleh para koruptor. Kepada siapa kita harus percaya dan bagaimana cara menghapus budaya yang sudah membabi buta tersebut.
Menurut teori Political Trust dari Easton (1965), kepatuhan warga pada kebijakan negara sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Jika rakyat yakin pajak mereka digunakan dengan jujur dan transparan, maka kepatuhan akan tumbuh dengan sendirinya. Sayangnya, di Indonesia, kepercayaan itu kerap diuji oleh kenyataan pahit dari kasus korupsi pegawai pajak, kekayaan tak wajar pejabat, hingga kebijakan yang terasa timpang.
Kita juga bisa melihat fenomena ini lewat kacamata psikologi. Daniel Kahneman (2011) menjelaskan, manusia sering mengambil keputusan cepat secara emosional tanpa mereka harus mempertimbangkan manfaat pajak itu sendiri. Dimana begitu masyarakat mendengar beritakorupsi, muncul reaksi spontan: "buat apa bayar pajak kalau ujung-ujungnya dikorupsi?" walau sebenarnya, secara rasional, kita tahu pajak tetap membiayai pembangunan.
Apalagi, kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 membuat sebagian masyarakat merasa semakin terbebani. Bagi pelaku UMKM dan masyarakat kecil, kebijakan itu menambah tekanan ekonomi, sementara manfaat pajak belum terasa langsung. Bagi mereka, pajak bukan lagi simbol gotong royong, tapi beban yang harus ditanggung sendirian. Masyarakat yang mengharapkan program yang merubah perekonomiannya malah harus mendengarkan berbagai gebrakan pemerintah yang tidak masuk akal, terlalu banyak keanehan dibalik penggunaan paja kini
Kita tahu sebenarnya, pemerintah sudah mencoba memperbaiki sistem lewat digitalisasi e-filing, e-billing,hingga reformasi core tax system. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga berupaya memberi insentif bagi UMKM. Tapi, di matapublik, semua itu masih sebatas janji di atas kertas. Seperti kata ekonom Bhima Yudhistira, "reformasi sistem tak akan berarti tanpa transparan si penggunaan pajak.". Percuma pemerintah hanya berkoar-koar soal janji kalau tidak ada realisasi, yang dibutuhkan bukan lagi janji bisutapibuktinyata yang membantu. Banyak masyarakat yang harus menahan lapar tapi pemerintah hanya mementingkan diri sendiri, kemana prinsip kepentingan bersama yang seharusnya mereka tanamkan di dalam diri mereka? Ini bukan lagi perkara kecil karena tentunya masyarakat yang harus mati-matin mencari uang malah harus menerima berbagai fakta kekonyolan tingkah pemerintah yang tidak bis dinormalisasikan
Bahkan temukan fakta bahwa masyarakat bukan menolak kewajiban. Mereka hanya ingin melihat bukti nyata: pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan memperkaya segelintir orang. Mereka ingin pemerintah tidak sekadar menuntut kepatuhan, tetapi juga mencontohkannya.Terlalu banyak kekecewaan karena pemerintah atas negri ini, masyarakat yang berharap kemudahan pendidikan kemudahan kesehatan malah harus mendengarkan kabar keracunan dari berbagai penjuru Indonesia, guru yang dengan setulus hati mendidik anak bangsa dianggap sebagai beban negara tapi para penguasa malah tertawa diatas penderitaan rakyatnya, bahkan berjoget diatas kursi yang katanya "Perwakilah Rakyat". Semua kesenangan yang didapatkan dari anggaran pajak yang tidak bisa dipertanggung jawabkan pengalokasiannya. Miris rasanya kalau masyarakat melihat uang yang mereka usahakan dengan susah payah harus dinikmati oleh pemangku kepentingan tertentu saja.Â
Kepatuhan pajak tidak bisa dibangun dengan ancaman, melainkan dengan kepercayaan. Percuma adanya aturan perundang-undangan terkait pajak kalau pemerintah sendiri tidak mementingkan kepentingan negara. Dan kepercayaan itu lahir dari kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas. Karena sejatinya, pajak bukan beban, melainkan bentuk partisipasi rakyat untuk masa depan bangsa asal dikelola dengan hati yang bersih dan tangan yang jujur. Negara ini harusnya menjadi tempat yang disenangi dibanggakan tapi masyarakat sudah muak dengan penghancuran ini, siapa lagi yang harus mereka percaya untuk mengelola negeri ini karena sejatinya dibalik ke tidak inginan masyarakat dan kekecewaan masyarakat ada setitik harapan untuk kemajuan negri ini. Terus maju dan terus bersorak jangan bungkam karena,kebungkaman,kita adalah kehancuran negara ini
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI