Perkawinan dalam Islam memang memiliki konsep yang kuat sebagai ikatan sakral yang menetapkan hak dan kewajiban antara suami dan istri. Namun, dalam perkembangannya, dinamika sosial dan ekonomi mempengaruhi peran dalam rumah tangga, terutama dengan semakin banyaknya perempuan yang bekerja di luar rumah.Reinterpretasi feminis Muslim terhadap hak dan kewajiban suami-istri bisa dilihat sebagai upaya adaptasi terhadap perubahan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. Islam sendiri mengajarkan keadilan dan keseimbangan dalam rumah tangga, sehingga pembagian tugas tidak harus kaku, melainkan disesuaikan dengan kondisi dan kesepakatan bersama.Namun, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perubahan peran ini tidak boleh menghilangkan tanggung jawab utama suami sebagai pemberi nafkah dan pelindung keluarga. Begitu juga, istri yang memilih berkarier tetap memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya. Oleh karena itu, pendekatan yang terbaik adalah keseimbangan antara nilai tradisional Islam dan kebutuhan sosial modern, sehingga keadilan dan keharmonisan dalam rumah tangga tetap terjaga.
Menurut Dr. Agus Hermanto, Konsep maslahah dalam hukum Islam merupakan landasan penting yang menekankan bahwa setiap hukum yang ditetapkan harus bertujuan membawa manfaat dan mencegah kerusakan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Islam bukanlah hukum yang kaku, melainkan memiliki fleksibilitas dalam merespons perubahan zaman dan kebutuhan umat.
Meskipun maslahah tidak selalu memiliki dalil tersurat dalam nash, ulama sepakat bahwa prinsip ini dapat digunakan dalam menetapkan hukum, terutama dalam aspek mu'malah (hubungan sosial). Hal ini terlihat dalam berbagai keputusan historis, seperti pengumpulan mushaf Alquran oleh Abu Bakar al-Siddiq, yang meskipun tidak diperintahkan secara eksplisit dalam wahyu, tetap dianggap sebagai keputusan yang membawa kemaslahatan bagi umat Islam.Namun, dalam penerapannya, maslahah harus tetap berlandaskan pada syariat dan tidak hanya berdasarkan akal manusia yang terbatas dan mudah dipengaruhi oleh lingkungan serta hawa nafsu. Dengan demikian, prinsip ini harus digunakan secara bijak, seimbang antara manfaat duniawi dan ukhrawi, serta tetap dalam koridor nilai-nilai Islam.Keberadaan maslahah dalam hukum Islam menunjukkan bahwa Islam bukan hanya agama yang mengatur ibadah ritual, tetapi juga sistem yang dinamis dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman. Oleh karena itu, pendekatan ini seharusnya lebih banyak dieksplorasi untuk menjawab permasalahan sosial dan hukum yang terus berkembang.
Dalam realitas sosial saat ini, konsep peran domestik perempuan telah mengalami banyak perubahan. Jika dahulu perempuan lebih banyak berada dalam ruang domestik, kini mereka semakin aktif di berbagai sektor publik. Hal ini menunjukkan bahwa tafsir klasik yang membatasi ruang gerak perempuan sudah tidak lagi relevan sepenuhnya dengan perkembangan zaman. Islam sendiri mengajarkan prinsip keadilan dan kesetaraan, sebagaimana ditegaskan dalam konsep shlihun fi kulli zamn wa makn---Islam selalu relevan di setiap waktu dan tempat.
Stereotip gender yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pelengkap telah menciptakan ketidakadilan dalam rumah tangga. Beban ganda yang dialami perempuan---baik dalam urusan domestik maupun ekonomi---membuktikan bahwa peran gender bukanlah sesuatu yang bersifat kodrati, melainkan hasil konstruksi sosial yang telah berlangsung lama. Bahkan, dalam banyak kasus, perempuan memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada suami, namun tetap dianggap sekadar tambahan, bukan sebagai bagian utama dari perekonomian keluarga.Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membangun sistem yang lebih adil bagi perempuan, baik dalam lingkup rumah tangga maupun sektor publik. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan perlindungan hukum bagi pekerja perempuan, termasuk pekerja domestik yang sering kali tidak mendapatkan hak-hak yang layak.Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan harus dapat memberikan solusi terhadap persoalan ini. Peran gender dalam rumah tangga dan masyarakat harus lebih fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan dan kesepakatan bersama, tanpa harus berpegang pada norma sosial yang merugikan salah satu pihak. Kesetaraan bukan berarti meniadakan peran laki-laki dan perempuan, tetapi memastikan bahwa hak dan kewajiban dibagi secara adil sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing.
Karya ini sangat komprehensif dalam membahas dinamika peran gender dalam rumah tangga dan masyarakat, terutama dalam kaitannya dengan perubahan sosial yang terus berkembang. Dengan analisis yang tajam, tulisan ini berhasil menunjukkan bahwa peran domestik perempuan bukanlah sesuatu yang kodrati, melainkan hasil konstruksi sosial yang dapat berubah seiring waktu.
Salah satu poin kuat dalam tulisan ini adalah bagaimana stereotip gender telah menciptakan ketidakadilan dalam rumah tangga, di mana perempuan harus menanggung beban ganda tanpa pengakuan yang setara. Analisis ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana semakin banyak perempuan berkontribusi dalam sektor ekonomi, namun tetap dibebani dengan tanggung jawab domestik yang berat.Tulisan ini juga menunjukkan pemahaman yang mendalam terhadap konsep shlihun fi kulli zamn wa makn, yang menegaskan bahwa Islam selalu relevan dalam setiap zaman dan tempat. Ini menjadi dasar yang kuat untuk meninjau kembali tafsir-tafsir klasik agar lebih sesuai dengan realitas sosial saat ini.
Secara keseluruhan, tulisan ini memberikan wawasan yang berharga dalam diskusi tentang gender dan Islam. Dengan pendekatan yang kritis namun tetap berbasis pada nilai-nilai keislaman, tulisan ini dapat menjadi rujukan penting bagi siapa saja yang ingin memahami lebih dalam tentang kesetaraan gender dalam perspektif Islam.
Penutup tulisan ini sangat baik dalam memberikan keseimbangan antara interpretasi feminis dan konsep Islam tentang hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Dengan argumentasi yang kuat, tulisan ini menunjukkan bahwa reinterpretasi peran suami istri dalam rumah tangga bukanlah sebuah keharusan mutlak, melainkan tawaran yang bersifat kontekstual. Pendekatan ini menegaskan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna telah membawa maslahah bagi kehidupan, asalkan diterapkan dengan benar dan adil.
Salah satu poin menarik dalam penutup ini adalah bagaimana konsep keadilan dan demokrasi tidak selalu bertentangan dengan nilai-nilai Islam, melainkan dapat berjalan seiring jika dipahami dengan baik. Dalam konteks ini, feminisme dalam Islam bukan berarti meniadakan peran laki-laki dan perempuan, tetapi lebih pada mencari keseimbangan yang sesuai dengan kondisi sosial yang berkembang.
Tulisan ini menunjukkan kedalaman pemikiran dan analisis yang sangat baik, dan tentunya tidak terlepas dari wawasan luas serta ketajaman berpikir Dr. Agus Hermanto. Sebagai akademisi dan pemikir yang kritis, beliau mampu menghadirkan perspektif yang tidak hanya mendalam, tetapi juga objektif dalam melihat dinamika gender dalam Islam. Pendekatan beliau yang tetap berpegang pada prinsip maslahah tanpa terjebak dalam ekstremitas adalah sesuatu yang patut diapresiasi.
Dengan penulisan yang lugas dan berbobot, tulisan ini tidak hanya memberikan wawasan baru, tetapi juga membuka ruang diskusi yang sehat mengenai bagaimana Islam dapat terus relevan dalam menjawab tantangan zaman. Dr. Agus Hermanto layak mendapatkan apresiasi atas kontribusinya dalam kajian ini, yang tentunya sangat berharga bagi akademisi, praktisi, maupun masyarakat luas yang ingin memahami lebih dalam tentang peran gender dalam perspektif Islam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI