1. Bagaimana sistem peradilan di Indonesia?
Sistem peradilan di Indonesia khususnya dalam konteks hukum keluarga Islam berdasar pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yang mengatur yurisdiksi peradilan agama dalam perkara perkawinan, kewarisan, dan urusan lain yang berlandaskan hukum Islam. Peradilan agama menjadi lembaga yang menjalankan hukum keluarga Islam dengan berbagai macam perkara seperti izin poligami, dispensasi kawin, perceraian, penjagaan anak, dan waris, yang diselesaikan di wilayah hukum peradilan agama.
Secara historis, sistem peradilan Islam di Indonesia mengalami perkembangan dari masa kerajaan, hingga menjadi Peradilan Agama di bawah Departemen Agama pada 1974-2005, lalu menyatu dengan Mahkamah Agung sejak 2005 sampai sekarang. Sistem ini menerima pengaruh dari hukum fiqih klasik dan modern, fatwa ulama, serta praktik hukum adat dan hukum Barat yang masih berlaku, sehingga bentuk finalnya adalah kompromi antara syariah dan hukum sekuler.
Secara lebih luas, Indonesia termasuk dalam kategori negara yang menempuh jalan kompromi antara hukum syariah dan hukum sekuler. Negara mengakomodasi hukum agama sebagai sumber legislasi nasional selain hukum adat dan hukum Barat, dan memberikan ruang pelaksanaan hukum Islam dalam sistem peradilan, terutama dalam hukum keluarga, sebagai wujud penghormatan terhadap agama mayoritas penduduk.
Sistem Peradilan di Indonesia:
1.Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama menangani keperdataan Islam seperti perkawinan, warisan, wakaf.
2.Perkara yang ditangani mencakup izin poligami, dispensasi kawin, perceraian, dan penentuan kewarisan.
3.Sistem peradilan Islam di Indonesia berkembang dari institusi tradisional menjadi Peradilan Agama modern yang berada di bawah Mahkamah Agung.
4.Indonesia menggabungkan hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat menjadi sistem hukum yang berkompromi antara syariah dan hukum sekuler.
5.Pencatatan perkawinan dan perceraian dilakukan secara resmi dalam pengadilan, menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak terutama bagi perempuan.
2. Bagaimana perkembangan peradilan agama di Indonesia?
1. Awal Mula Peradilan Agama
Peradilan Agama di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sejak masa kerajaan Islam seperti Kesultanan Demak dan Aceh. Pada masa kolonial Belanda, peradilan agama tetap eksis meskipun dengan kewenangan terbatas.
-Ordonansi Peradilan Agama (1937): Pemerintah Hindia Belanda secara formal mengakui peradilan agama untuk orang Islam, khususnya di Jawa dan Madura.
-Namun, kewenangan saat itu terbatas hanya pada perkawinan, waris, wakaf, dan hibah, dan itu pun masih harus dikukuhkan oleh pengadilan sipil (landraad).
2. Masa Kemerdekaan dan Pengakuan Formal
Setelah kemerdekaan RI pada 1945, keberadaan Peradilan Agama tetap diakui meski belum memiliki kedudukan sejajar dengan peradilan lain.
-UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Menjadi tonggak penting, karena menyatakan bahwa bagi umat Islam, perkara perkawinan diselesaikan oleh Peradilan Agama.
-Namun, lembaga ini belum sepenuhnya independen karena masih berada di bawah Departemen Agama.
3. Reformasi Hukum dan Kemandirian Peradilan
Perubahan besar terjadi dengan:
-UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama: Pertama kali memberikan struktur, kewenangan, dan kedudukan resmi bagi Peradilan Agama.
-UU No. 3 Tahun 2006 (perubahan atas UU No. 7/1989) dan UU No. 50 Tahun 2009: Menguatkan posisi Peradilan Agama sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung.
Kewenangan Peradilan Agama diperluas:
Perkawinan,Waris,Wasiat,Hibah,Wakaf,Zakat,Infaq,Shadaqah,Ekonomi Syariah (setelah 2006)
4. Peradilan Agama Saat Ini
Saat ini, Peradilan Agama telah memiliki sistem yang mapan:
*Struktur:
-Pengadilan Agama (PA): di tingkat kabupaten/kota
-Pengadilan Tinggi Agama (PTA): di tingkat provinsi
-Mahkamah Agung (MA): sebagai pengadilan kasasi
*Sarana digital:
-E-Court dan e-Litigation (untuk pendaftaran dan persidangan secara elektronik)
-Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP)
*Peningkatan profesionalisme:
-Pengangkatan hakim melalui seleksi ketat
-Pendidikan hakim oleh Badan Litbang Diklat MA
5. Tantangan dan Isu Kontemporer
-Keterbatasan SDM dan infrastruktur di beberapa daerah
-Isu keadilan gender, terutama dalam perkara perceraian dan hak-hak perempuan
-Penyesuaian dengan hukum ekonomi syariah yang terus berkembang (perbankan syariah, fintech syariah, dll.)
-Tumpang tindih kewenangan dengan peradilan umum (kadang terjadi dalam sengketa waris atau perdata umum)
3. Bagaimana peradilan agama di ketiga negara?
1. Turki
Turki merupakan negara Muslim sekuler yang membatalkan hukum syariah dan menggantinya dengan hukum sekuler yang berasal dari Barat. Pada tahun 1926, Turki mengadopsi Hukum Swiss sebagai pengganti syariah, termasuk dalam urusan hukum keluarga. Sebagai dampaknya, yurisdiksi peradilan agama dibatasi secara signifikan. Mahkamah-mahkamah Islam dihapuskan pada tahun 1924, bersamaan dengan penghapusan jabatan khalifah dan syaikhul Islam. Hukum keluarga yang sebelumnya berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Syari'ah dialihkan ke sistem peradilan sekuler.
2. Mesir
Mesir menempuh jalan kompromi antara hukum syariah dan hukum sekuler. Awalnya, Mesir memiliki sistem peradilan yang beragam, di mana masalah status personal dilimpahkan kepada pengadilan syariat. Pemerintah kemudian melakukan pengaturan terhadap organisasi pengadilan syariat dan kualifikasi para hakimnya, bahkan mendirikan sekolah khusus untuk pendidikan dan pelatihan hakim pada tahun 1907.
Pada tahun 1955, Mesir menyatukan sistem peradilannya, meletakkan semua perkara hukum di bawah kewenangan pengadilan nasional. Meskipun demikian, untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan status personal (hukum keluarga), hukum yang diterapkan masih berdasarkan pada afiliasi keagamaan pihak-pihak yang berselisih. Dalam bidang perkawinan, pembagian warisan, dan perwakafan, hukum Islam masih berlaku secara utuh.
3. Indonesia
Indonesia, seperti Mesir, mengambil jalan kompromi antara syariah dan hukum sekuler. Sistem peradilan Islam yang menangani hukum keluarga di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan nama sepanjang sejarah, seperti Peradilan Surambi, Pristeraad, Kerapatan Qadi, Mahkamah Syari'ah, hingga yang dikenal saat ini sebagai Peradilan Agama.
Yurisdiksi Peradilan Agama di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Kewenangannya meliputi perkara-perkara perkawinan, kewarisan, sadaqah, infaq, dan wakaf yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam. Terdapat 22 jenis perkara perkawinan yang dapat ditangani oleh Peradilan Agama, di antaranya izin poligami, dispensasi kawin, pembatalan perkawinan, gugatan perceraian, penyelesaian harta bersama, dan penguasaan anak.
Lia Febriani (232121134) HKI 5D