Opini publik kini lebih cepat terbentuk lewat linimasa media sosial. Dalam hitungan menit, sebuah unggahan di X (twitter) mampu mengubah arah opini publik. Tak perlu konferensi pers, cukup satu video viral dan opini publik pun terbentuk. Media sosial memungkinkan peredaran informasi secara masif. Menurut laporan dari We Are Social (2025), Analisis Kepios menunjukkan bahwa pengguna media sosial global kini mencapai 5,31 miliar , setara dengan 64,7 persen dari total populasi dunia. Angka total pengguna telah meningkat sebesar 4,7 persen selama 12 bulan terakhir, dengan 241 juta pengguna baru mulai menggunakan platform sosial sejak April 2024. Terjadi interaktivitas yang tinggi di media sosial dimana setiap orang dapat terlibat secara aktif dalam menciptakan sekaligus menyebarluaskan suatu konten.
Media sosial mendukung kebebasan berekspresi bagi setiap orang untuk berpartisipasi dalam diskusi publik dan menyuarakan pendapat mereka. Setiap orang berpotensi menjadi pembentuk narasi bahkan penggerak massa. Jika dahulu dalam satu pertandingan bola, komentator yang hadir di publik melalui radio dan televisi, kini seluruh penonton baik di stadion maupun di rumah bisa menjadi komentator dan memiliki ruangnya masing-masing untuk berbicara dan didengar seluruh orang (Nichols, 2017). Perubahan lanskap komunikasi ini membawa dampak besar pada cara publik dalam memahami isu sosial, politik, dan ekonomi. Melalui Gerakan sosial yang muncul seperti #FreePalestine, #BlackLivesMatter, #ReformasiDikorupsi, isu sosial menjadi penting dan dapat menggugah cara pandang atau kesadaran kolektif seseorang.
Menurut Jrgen Habermas, ruang publik adalah suatu diskursus yang memungkinkan debat-debat dan pengemukaan pendapat terjadi dalam kondisi kesetaraan. Habermas menggambarkan bahwa ruang ini meliputi infrastruktur nyata dan norma-norma yang mendukung dan memungkinkan kritik-kritik politik diperbincangkan. Di mana panduannya adalah argumentasi rasional dan diskusi kritis yang menjadikan kekuatan argumen menjadi lebih penting dibandingkan identitas si pembicara. Opini publik turut dibentuk oleh kehadiran para pemimpin opini atau opinion leaders, yakni individu atau kelompok yang memiliki pengaruh signifikan terhadap cara pandang masyarakat. Pemimpin opini ini bisa berasal dari berbagai latar belakang atau kalangan manapun, termasuk politisi, akademisi, selebriti, dan aktivis.
Media sosial dapat memunculkan fenomena citizen journalism, di mana individu biasa dapat melaporkan berita dan peristiwa secara langsung dari tempat kejadian. Hal ini memberikan alternatif bagi media tradisional dan memungkinkan suara-suara yang mungkin tidak terdengar untuk mendapatkan perhatian. Menurut Dan Gillmor dalam bukunya We the Media: Grassroots Journalism by the People, for the People (2006) benih citizen journalism telah ada sejak abad ke-17. Awal mula citizen journalism dapat ditelusuri ke era awal internet ketika teknologi baru memungkinkan individu biasa untuk berpartisipasi dalam produksi berita. Citizen journalism dapat memobilisasi dukungan publik untuk perubahan hukum atau kebijakan tertentu.
Algoritma pada platform media sosial cenderung menunjukkan konten yang sesuai dengan minat dan interaksi pengguna. Pengguna akan lebih sering terpapar informasi yang sejalan dengan pandangan mereka sendiri sementara pandangan yang berbeda menjadi jarang muncul. Hal ini dapat menyebabkan fenomena polarisasi sosial dimana masyarakat akan lebih terpecah. Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise (2018) menyebutnya sebagai bias konfirmasi, yakni kecenderungan untuk mencari informasi yang hanya membenarkan apa yang kita percayai, menerima fakta yang hanya memperkuat penjelasan yang kita sukai, dan menolak data yang menentang sesuatu yang sudah kita terima sebagai kebenaran. Pada akhirnya, bias konfirmasi yang muncul dari algoritma ini memperkuat efek ruang gema (echo chamber).
Ruang gema (echo chamber) dapat menimbulkan misinformasi dan mendistorsi perspektif seseorang sehingga mereka kesulitan mempertimbangkan sudut pandang yang berlawanan dan membahas topik yang rumit. Disamping itu, algoritma juga menyebabkan terjadinya fenomena filter bubble yaitu sebuah fenomena dimana pengguna internet yang memiliki ketertarikan akan topik tertentu kemudian akan dikelompokkan oleh sistem untuk saling dipertemukam dengan pengguna yang memiliki ketertarikan yang sama. "Filter bubble adalah dunia informasi milik setiap orang, yang unik dan bergantung bagaimana perilaku orang tersebut di Internet." (Pariser, 2011). Kedua efek algoritma yang muncul dalam timeline tersebut dapat diatasi dengan banyak berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki perspektif berbeda dan berdiskusi tentang ide-ide baru dengan fakta, kesabaran, serta rasa hormat.
Dengan melakukan literasi digital secara kritis, opini yang muncul dalam ruang publik dapat disaring dan dijadikan sebagai suatu bentuk kesadaran moral terhadap berbagai isu sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI