Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasihan Vincentia Tiffani! Lamaran Poligami dan Guyon Politik (yang Tidak Lucu)!

29 Maret 2019   01:43 Diperbarui: 29 Maret 2019   15:57 1202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berita tentang Vincentia Tiffani yang "melamar dipoligami" kepada Sandiaga  cawapres 02 itu  telah diklarifikasi oleh Vincentia di media. Bahkan Vincentia Tiffani merekam pernyataan melalui video di Instagramnya bahwa ia mendapat 'titipan' pertanyaan itu dari panitia. Ia juga menayangkan 'chat' WA yang menunjukkan soal pertanyaan pesanan panitia tersebut.

Apapun alasan yang disampaikan, video tersebut sempat viral. Memang Vincentia mengatakan ada untung dan ruginya dari adanya viral tersebut. Dan layaknya materi berita berita yang laku untuk 'diviralkan' di media cetak dan media sosial, maka peristiwa yang membuat nama Vincentia terkenal mungkin dapat disebut sebagai keuntungannya. 

Vincentia sendiri mengatakan bahwa ia mengkhawatirkan akan mengalami kerugian dalam hal nama baiknya dan masa depannya yang masih panjang. Ia masih ingin sekolah dan bahkan belum terpikir untuk menikah. Lalu, bagaimana? Nasi telah jadi bubur. 

Ada hal perlu kita cermati. Sudah beberapa kali perempuan menjadi obyek politik. Penggunaan 'emak emak' sudah bukan rahasia lagi dan saya tidak hendak membincangnya. Tentu ada alasan sukarela bahwa ini karena ideologis, atau bisa juga karena terpaksa karena memang status sebagai perempuan yang sama dengan emak,  atau alasan sukarela berjamaah karena seru dan ramai. Itu tidak perlu kita diskusikan. Sudah banyak kawan kawan K membahasnya.

Soal Vincentia yang mengajukan pertanyaan pesanan 'lamaran poligami' bisa dilihat dari banyak perspektif. Sudah tentu supaya ramai dan viral. Supaya acara kampanye menarik, dan lain lain. 

Yang mengganggu saya sebagai seorang perempuan dan ibu dari anak perempuan adalah  peristiwa yang menempatkan seakan poligami adalah hal biasa bagi perempuan. Apalagi ini perempuan muda. Milenial. 

Banyak studi yang mengemukakan apa penyebab poligami. Tentu saja, bagi yang pro pada poligami akan mengatakan soal panjang umur, kebahagiaan, keturunan, mencegah zina, menolong yatim, menolong si miskin,  budaya, perspektif keagamaan (saya menulis perspektif atau pandangan, bukan agama itu sediri), jadi mohon untuk tidak salah membacanya.  

Dalam hal perspektif atau cara pandang pada ajaran agama, sejarah menunjukkan terdapat pendangan bahwa penganut beberapa agama tertentu, misalnya Mormon, Islam, Hindu dan beberapa agama lain memiliki diskursus tentang poligami.

Sayapun tidak hendak mendiskusikan poligami dari sisi perspektif agama, karena ini akan mengundang diskusi tak berujung. Kita bisa semalaman tidak tidur karenanya. Pula, ini bukan area keahlian saya. Saya bisa menyarankan diskusi ini difasilitasi Kyai Husein dari Cirebon yang baru saja mendapat gelar Doktor Honoris Causa bidang Tafsir Gender dari Universitas Islam Negeri Walisongo Selasa, 26 Maret 2019 yang lalu. 

Namun demikian, saya  memahami, paling tidak sedikit,  aspek poligami dari kacamata hak asasi manusia. Studi global menunjukkan bahwa dalam banyak konteks, poligami tidak mampu membuat status manusia lebih baik. Ini dilihat dari perspektif kesetaraan antar manusia, kesetaraan antara perempuan dan laki laki, kesetaraan antar perempuan juga.

Dalam poligami di manapun, pihak yang dominan adalah laki laki . Walaupun dikatakan ada 'keikhlasan' dari para perempuannya, pada prakteknya ini sulit terjadi. Bahkan, perempuan akan menjadi pihak yang dirugikan.

Artikel 16 dari Deklarasi Hak Asasi Manusia mencantumkan soal hak untuk menikah. Pertama, perempuan dan laki laki dewasa, tanpa membedakan ras, warga negara atau agama, memiliki hak untuk menikah dan menemukan keluarga. Mereka berhak untuk memiliki hak yang sama untuk menikah, dalam masa pernikahan, dan ketika terpaksa harus berpisah. Kedua, pernikahan harus terjadi hanya ketika mereka dan para pihak sadar secara penuh untuk melakukannya.

Bisa dicek pada perempuan, sebetulnya, apakah hati kecil mereka menerima untuk memiliki 'saingan' dalam pernikahan. Sementara begitu banyak studi menunjukkan bahwa perempuan sakit hati dan merasa diperlakukan tidak adil ketika perempuan kedua, ketiga atau ketujuh hadir dalam perkawinan mereka. Dari kacamata laki laki sih, legitimasi apapun bisa dibuat ketika laki laki menghendaki berpoligami.

Tulisan Urpan Murniasari "Monogami Yes, Poligami No" yang ada pada Mubadalahnews.com yang dikelola oleh kelompok muslim, perempuan dan laki laki, yang sensitif pada persoalan gender mengatakan bahwa banyak di antara kita yang memainkan ayat ayat untuk mengesahkan poligami. Kadang kadang pemilihan ayatnyapun tidak sesuai konteks. 

Tulisan tersebut mengatakan pula bahwa poligami yang saat ini marak terjadi tak lebih hanyalah akal akalan suami yang tidak mensyukuri istrinya dan mengutamakan nafsunya saja. Poligami bisa menjadi bibit perselisihan, penganiayaan, kedzaliman, dan ketidakadilan. 

Sekiranya pembaca ingin menelusur lebih dalam, silakan untuk mengunjungi pustaka yang telah saya terakan. Atau, saya bisa memperkenalkan anda pada sahabat saya, Dr Kyai Haji Husein di Cirebon.

Hal yang saya sayangkan, dan mungkin juga akhirnya disadari oleh Vincentia Tiffani adalah bahwa 'guyonan' politik dan keinginan dipoligami ini disampaikan oleh Vincentia yang merupakan warga milenia yang seharusnya berpikir kritis dan menolak untuk jadi corong dan guyonan politik. Vincentia yang cerdas tentu paham bahwa poligami pada dasarnya menyakiti perempuan lain. Tentu ini bukan suatu promosi yang berkemajuan bagi perempuan muda sepertinya. 

Vincentia telah memohon maaf dan mengatakan bahwa pada awalnya ia melakukannya sebagai guyonan dan juga pertanyaan itu adalah titipan panitia. Namun, pada akhirnya, seperti pernyataan Vincentia, ini menjadikan dirinya pada posisi tidak diuntungkan. Tentu saja. Di mata perempuan lain, ia jadi nampak jahat. Di antara kawan milenial, dia tampak bodoh. 

Untuk Vincentia, maafkan saya menjadikanmu kisah dalam artikel ini.  Namun kau tahu bahwa sayapun tak pasang fotomi karena sata tak hendak jadikanmu korban kedua kalinya. Terima kasih kau telah membuat pernyataan. Itu baik bagimu. 

Secara pribadi, saya tidak harus menulis lebih panjang. Dalam konteks jelang Pemilu, saya hanya bisa katakan pada para pihak peserta Pemilu  'STOP gunakan perempuan sebagai mainan politik. Siapapun tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan perempuan sebagai obyek guyonan politik. Tidak lucu itu!

Pustaka : 1) Poligami No; 2) Poligami dari Perspektif HAM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun