Mohon tunggu...
LEXPress
LEXPress Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biro Jurnalistik LK2

Biro Jurnalistik merupakan biro dari Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bergerak dalam kegiatan meliput dan menyampaikan berita hukum terkini.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Regulasi Poligami di Indonesia: Izin Bukan karena Istri Kepala Dinas

26 November 2021   17:03 Diperbarui: 26 November 2021   17:06 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah poligami merupakan hal yang cukup familiar bagi masyarakat kita karena beberapa praktik poligami masih kerap terjadi di sekitar kita. Apalagi baru-baru ini, publik diramaikan dengan liputan dari Narasi Newsroom yang diunggah melalui kanal YouTube resmi mereka dengan tajuk "Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar", yang semakin membuktikan fakta tersebut. 

Respons publik pun beragam. Sebagian besar merasa geram akan kelakuan pria yang dikenal dengan sebutan Coach Hafidin yang merupakan seorang mentor poligami kenamaan. Walaupun ada juga yang merespon positif praktik poligami oleh Hafidin tersebut. Hal tersebut tergambar dari komentar warganet (netizen) yang saling beradu pendapat, baik di kolom komentar YouTube Narasi Newsroom maupun di kolom komentar media sosial lainnya, seperti Instagram dan TikTok yang mengunggah ulang (reupload) potongan liputan dari Narasi Newsroom.

Terdapat satu potongan pernyataan yang menarik dalam liputan tersebut. Saat jurnalis Narasi Newsroom bertanya apakah Hafidin meminta izin kepada istrinya untuk menikah dengan perempuan lain, Hafidin pun menjawab, "Ngapain izin? Emang istri saya kepala dinas?" Pernyataan tersebut sontak menimbulkan berbagai respons dari warganet, seperti anggapan bahwa pernyataan tersebut telah merendahkan perempuan dan pendapat lainnya. 

Hal menarik yang dapat kita garis bawahi dari pernyataan tersebut adalah tidak adanya izin dalam praktik poligami yang dilakukan oleh Hafidin tersebut. Tentunya, tanpa izin dari istri sebelumnya, kita tidak bisa mengetahui apakah istri sebelumnya "mengizinkan" dan "menyetujui" poligami tersebut---walaupun menurut Hafidin, istrinya menurut saja ketika ia menikah lagi dan pastinya tidak tersakiti. Hal ini menimbulkan pertanyaan. Dengan tidak adanya izin dari istri sebelumnya, apakah seseorang tetap dapat mengambil istri lagi dan melakukan praktik poligami? Apakah implikasi hukum dari tidak adanya izin dari istri sebelumnya?

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Selain itu, kita juga memiliki Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang dijadikan pedoman dalam penyelesaian perkara yang diajukan kepada lingkungan Peradilan Agama (Edi Gunawan, 2010). KHI mengatur Hukum Perkawinan secara lebih lanjut di dalam Buku I.

MENURUT PERSPEKTIF UU PERKAWINAN

Menurut Pasal 3 UU Perkawinan, seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan sebaliknya, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk memiliki istri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan yang tertulis di Pasal 5 UU Perkawinan. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Hukum Perkawinan di Indonesia menerapkan asas monogami terbuka. Dari pernyataan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa seorang pria dapat menikah kembali (poligami) setelah Pengadilan memberi permohonan kepada pria tersebut, tentunya dengan beberapa syarat.

Syarat pemberian permohonan poligami diatur dalam Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu: (1) adanya persetujuan dari istri/istri-istri; (2) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; dan (3) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

MENURUT PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)

KHI mengatur poligami dalam Bab IX yang berjudul, "Beristri Lebih Dari Satu Orang." Dalam Pasal 56 KHI, suami yang ingin beristri lebih dari satu (poligami) harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Lebih lanjut, dijelaskan dalam Pasal 58 bahwa untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, suami harus memenuhi beberapa syarat, salah satunya adanya persetujuan istri. Persetujuan tersebut boleh diberikan istri atau istri-istri secara tertulis atau lisan. Namun, persetujuan tertulis juga harus dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.

Dari penjelasan menurut UU Perkawinan dan KHI, kita dapat menyimpulkan bahwa untuk melakukan poligami, seorang pria harus mendapatkan perizinan dari Pengadilan Agama. Pengadilan Agama dalam pertimbangannya mewajibkan adanya persetujuan istri sebagai syarat diterimanya permohonan poligami. Apabila seorang pria melakukan poligami tanpa persetujuan Pengadilan Agama, perkawinan tersebut dapat dibatalkan menurut Pasal 70 KHI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun