Pendidikan Agama Islam memiliki peran penting dalam sistem pendidikan di Indonesia, di mana mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Pendidikan Agama Islam tidak hanya bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai agama, tetapi juga membentuk karakter, moralitas, dan spiritualitas siswa. Kurikulum Pendidikan Agama Islam di setiap jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga SMA, menjadi landasan penting dalam penyampaian materi dan pembentukan pemahaman agama bagi siswa. Namun, pertanyaannya: apakah kurikulum di jenjang SD/SMP/SMA sudah mampu membekali siswa untuk mencapai pendidikan Islam yang sesungguhnya?
      Kurikulum SD/SMP/SMA memiliki perbedaan yang cukup jauh dari sekolah-sekolah berbasis Islam seperti MI, MTs, MA, atau Sekolah Islam Terpadu (SIT). Perbedaan paling mencolok terletak pada mata pelajaran agama. Kurikulum di sekolah umum dibuat untuk seluruh kalangan dan latar belakang agama, sehingga pelajaran agama harus menyesuaikan dengan keragaman tersebut. Sayangnya, Pendidikan Agama Islam di sekolah umum sering kali hanya memiliki waktu belajar yang sangat terbatas, serta materinya dirangkum menjadi satu pelajaran besar yang mencakup Akidah, Akhlak, Fiqih, Al-Qur'an Hadits, dan Sejarah Kebudayaan Islam.
      Menurut saya, kurikulum di SD/SMP/SMA belum mampu membekali siswa untuk mencapai pendidikan Islam yang ideal. Salah satu alasannya adalah keterbatasan jam pelajaran. Di sekolah umum, mata pelajaran agama hanya diberikan dua jam dalam seminggu, bahkan terkadang digabung dengan kegiatan lain seperti pembinaan karakter atau kegiatan keagamaan menjelang hari besar Islam. Waktu yang sempit jelas tidak cukup untuk membahas seluruh aspek penting seperti akidah, akhlak, dan fiqih secara mendalam.
      Selain dari segi waktu, pendekatan pembelajaran agama di sekolah umum juga sering kali bersifat teoritis, bukan aplikatif. Banyak siswa hanya mengenal nilai-nilai Islam sebatas hafalan, bukan pembiasaan dalam perilaku sehari-hari. Padahal, hakikat pendidikan agama adalah membentuk karakter dan akhlak mulia, bukan sekadar memahami konsep. Hal ini berbeda dengan sekolah berbasis Islam, di mana nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan sekolah seperti salat berjamaah, tahfiz, atau kajian rutin.
      Kurikulum nasional seharusnya tidak hanya fokus pada penguasaan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga memberikan ruang lebih besar untuk pendidikan karakter berbasis agama. Nilai-nilai Islam sebenarnya bisa diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran lain. Misalnya, pelajaran sains dapat dikaitkan dengan tanda-tanda kebesaran Allah dalam ciptaan-Nya, atau pelajaran bahasa diarahkan pada pembelajaran komunikasi yang santun dan beretika sebagaimana ajaran Islam.
      Untuk memperkuat pandangan saya, saya mewawancarai dua narasumber yang berpengalaman dalam bidang pendidikan agama Islam.
      Adreasyah Permana Aziz, S.Pd., lulusan UIN tahun 2025 yang kini bekerja sebagai guru Pendidikan Agama Islam, berpendapat bahwa kurikulum di sekolah umum memang tidak sedalam madrasah dalam hal materi keislaman. "Pelajaran agama di sekolah umum hanya berupa Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, sementara di MI, MTs, atau MA, pelajaran agama lebih variatif karena mencakup banyak cabang seperti Fiqih, Akidah, SKI, dan sebagainya," ujarnya.
      Menurutnya, buku pelajaran PAI di sekolah umum memang sudah mencakup seluruh aspek dasar keislaman, tetapi dalam bentuk ringkasan dari kurikulum madrasah. "Materi di setiap bab bergantian membahas tema-tema seperti Asmaul Husna, Fiqih, atau Sejarah Islam. Jadi, untuk dasar sudah cukup, tapi tidak bisa terlalu berat karena kurikulum sekolah umum harus menyesuaikan kemampuan siswa dari berbagai latar belakang," tambahnya.
      Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ustadz Ramin, M.Pd., guru ngaji saya sekaligus pengajar PAI di tingkat SD dan SMP. Ia menjelaskan bahwa perbedaan antara kurikulum madrasah dan kurikulum Kemendikbud sangat mencolok. "Kalau di madrasah, setiap mata pelajaran agama dipisah dan dikaji secara mendalam. Sementara di sekolah umum, semua aspek itu digabung menjadi satu mata pelajaran besar, sehingga hanya bisa dibahas secara global," jelasnya.
      Meski demikian, menurut beliau, kurikulum SD/SMP/SMA sebenarnya sudah cukup dari segi literatur, hanya saja belum mampu memenuhi kebutuhan spiritual siswa secara menyeluruh. Ia juga menambahkan bahwa siswa bisa menambah wawasan keagamaan dengan mengikuti TPQ, madrasah sore, atau lembaga keagamaan lainnya, tergantung pada kemauan dan dukungan keluarga.
      Dari wawancara ini, saya melihat bahwa kedua narasumber memiliki pandangan yang sejalan: kurikulum sekolah umum sebenarnya sudah mencakup dasar-dasar pendidikan Islam, tetapi belum cukup dalam membentuk karakter dan pemahaman keagamaan siswa secara utuh. Upaya untuk memperdalam nilai-nilai Islam tidak hanya bergantung pada kurikulum, tetapi juga pada peran aktif siswa, pendidik, dan lingkungan.