Petualangan selalu punya cara sendiri buat dikenang. Kadang lewat langkah kaki yang gemetar menapaki tanjakan, kadang lewat canda receh di tengah lelah, atau bahkan lewat hujan deras yang bikin licin jalur pulang.Â
Tapi yang paling membekas bukan cuma pemandangannya, melainkan prosesnya. Hanya tekad, tawa, dan rasa ingin tahu yang jadi bekal utama. Inilah kisah mereka---kisah tentang mendaki, bersahabat, dan belajar jadi lebih kuat.
Jejak Awal Sebuah Petualangan
Kadang hidup butuh jeda. Jeda dari layar ponsel, tugas sekolah, dan hiruk-pikuk kota. Dan buat mereka---Mukti Wijaya Leumara, Ardi, Dava, Bima, Linggar, dan Lykmab---jeda itu bernama pendakian.
Sabtu, 31 Mei 2025 jadi hari yang nggak bakal mereka lupain. Anak-anak SMAN 2 Malang, lagi cari arti kebebasan versi alam. Pilihan mereka jatuh ke gunung-gunung yang namanya cukup tenar di kalangan pendaki: Panderman, Buthak, dan Bokong. di kawasan Desa Pesanggrahan, Kota Batu.
Nggak muluk-muluk sih, mereka cuma pengen nanjak, ketawa, dan ngerasain gimana rasanya menaklukkan diri sendiri.
Bukan cuma soal naik gunung, tapi ini tentang petualangan yang ngajarin lebih dari sekadar fisik: ini soal persahabatan, semangat, dan rasa penasaran anak muda yang lagi nyari jati diri.
Ritual Sebelum Naik: Surat Persetujuan dan Tanggung Jawab
Sebelum bisa nginjakkan kaki di jalur pendakian, tiap peserta harus isi form persetujuan yang ditandatangani orang tua atau wali. Ini bukan formalitas doang---tapi bentuk tanggung jawab dan komunikasi yang sehat antara anak dan orang tua.
Ada makna dalam setiap tanda tangan: "Kami percaya sama kamu, Nak." Dan buat Mukti dan teman-teman, kepercayaan itu jadi semangat tambahan buat tetap hati-hati di setiap langkah.