Ketika matahari perlahan tenggelam, dan angin sore mengusap lembut wajah bumi, aku duduk dalam hening. Di antara detik-detik yang mengalir menuju waktu berbuka, aku memilih untuk meluangkan waktu berbincang dengan sosok yang sering kulupakan — diriku sendiri.
Ramadan adalah bulan penyucian, bukan hanya untuk raga, tapi juga untuk jiwa. Di senja yang syahdu ini, aku menggoreskan kata-kata, menuliskan surat sebagai bentuk penghormatan atas setiap luka yang telah sembuh, setiap langkah yang tertatih, dan setiap harapan yang terus menyala dalam dada.
Aku ingin mengucapkan terima kasih, memaafkan, dan merangkul diriku sendiri — karena sebelum aku mencintai orang lain, aku harus belajar mencintai dan menerima diriku seutuhnya.
Dan inilah surat itu, sepucuk pesan yang mengalir dari hati, sebagai doa dan pengingat bahwa aku hanyalah hamba yang terus belajar:
Surat Cinta untuk Diriku: Dalam Dekapan Kasih Ilahi
Bismillahirrahmanirrahim
Untuk diriku sendiri, yang terus berjuang dalam diam,
Alhamdulillah.Â
Segala puji hanya milik Allah SWT, Sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Yang nama-Nya senantiasa berbisik lembut di antara detak jantungku. Yang kasih-Nya mengalir tanpa henti, bahkan saat aku sering lupa menyebut nama-Nya. Yang pelukan-Nya selalu ada, bahkan saat aku merasa tersesat sendirian.
46 tahun, 3 bulan, 29 hari, 19 jam, 21 menit, 8 detik — sebanyak itulah waktu yang telah Kau pinjamkan, ya Allah. Setiap detiknya adalah anugerah, meski aku kadang gagal melihatnya. Aku telah melalui ribuan fajar dan senja, menangis dalam gelap, tersenyum dalam terang, jatuh, bangkit, lalu jatuh lagi. Namun, Engkau tak pernah meninggalkanku.
Aku bersyukur, ya Allah, karena dalam kelelahanku, Engkau tetap memelukku. Dalam kebodohanku, Engkau tetap membimbingku. Dalam kejatuhanku, Engkau tetap mengangkatku. Betapa sering aku mengecewakan-Mu, betapa sering aku berlari menjauh, tapi Engkau tetap setia menungguku pulang.
Ya Allah, aku bersujud dalam rasa syukur yang tak mampu terucap sepenuhnya.
Terima kasih telah menjagaku dalam tidurku, saat aku tak sadar betapa rapuhnya diriku. Terima kasih telah menguatkanku saat dunia terasa berat, saat pundakku nyaris patah memikul beban yang aku kira harus kutanggung sendiri.
Aku bersyukur atas kehadiran Bapa dan Mama — dua manusia yang menjadi wakil cinta-Mu di bumi. Mereka yang tanpa lelah mendoakanku, bahkan ketika aku sendiri lupa mendoakan diriku. Mereka yang mencintaiku dengan cara paling tulus, yang pengorbanannya tak akan pernah mampu kubalas.
Aku bersyukur atas saudara-saudaraku, yang mengajarkanku tentang arti berbagi dan mengasihi. Aku bersyukur atas teman-teman, yang hadir membawa pelajaran berharga — ada yang singgah sebentar, ada yang menetap, tapi semuanya meninggalkan jejak indah di hatiku.
Dan hari ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada diriku sendiri.
Untuk kamu, yang masih bertahan meski sering merasa rapuh.
Untuk kamu, yang tetap melangkah meski jalan terasa gelap dan sunyi.
Untuk kamu, yang terus mencoba, meski kadang tak tahu harus ke mana.
Aku tahu kamu lelah. Aku tahu ada hari-hari di mana kamu menangis sendirian, memeluk lutut dalam diam, merasa tak ada yang mengerti. Tapi kamu tetap berdiri. Kamu tetap melangkah. Kamu memilih untuk percaya, meski sering kali tanpa alasan yang jelas. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Aku ingin memelukmu, Bert. Ingin membisikkan bahwa kamu tidak perlu sempurna untuk dicintai oleh Tuhan. Bahwa kesalahan yang pernah kamu buat tidak mengurangi nilai dirimu di hadapan-Nya. Kamu tidak harus menjadi kuat sepanjang waktu — kamu hanya perlu jujur pada diri sendiri, mengakui kelemahan, lalu berserah sepenuhnya pada-Nya.
Aku memaafkanmu, untuk semua kekeliruan yang pernah kamu lakukan. Aku memaafkan setiap keputusan yang menyakitimu, setiap langkah yang tersesat, setiap kata yang pernah melukai orang lain tanpa sengaja. Karena jika Allah, Sang Pemilik Segala, mampu mengampuni hamba-Nya yang paling berdosa, maka siapa aku sampai tidak memaafkan diriku sendiri?
Ramadan ini, aku belajar satu hal penting:
Bahwa perjalanan hidup ini bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang terus kembali kepada-Nya. Tentang memeluk diri sendiri saat terjatuh, lalu dengan lembut mengingatkan hati bahwa Allah selalu dekat — lebih dekat daripada urat nadi.
Aku ingin menulis harapan untuk diriku di masa depan:
Ya Allah, bimbing aku menjadi hamba yang lebih lembut hatinya, lebih sabar jiwanya, lebih tulus amalnya. Karuniakan aku kekuatan untuk terus melangkah, meski dunia mengguncang. Karuniakan aku keikhlasan untuk menerima, meski tak semua hal bisa kupahami. Jangan biarkan aku tersesat terlalu jauh, ya Allah. Jangan biarkan aku terjebak dalam kebanggaan semu. Tapi tarik aku kembali ke jalan-Mu, bahkan jika itu harus melalui luka.
Aku ingin hidupku menjadi secercah cahaya bagi orang lain. Aku ingin setiap langkahku membawa kebaikan, sekecil apa pun itu. Melalui tulisan, aku ingin berbagi cerita dan ilmu, agar orang lain bisa menemukan harapan saat mereka merasa tersesat. Melalui pengalaman hidupku, aku berharap ada yang terinspirasi untuk bangkit, seperti dulu aku pernah bangkit dari titik terendahku. Aku ingin setiap kata yang kutulis menjadi benih kebaikan, yang terus tumbuh dan bersemi, bahkan saat aku sudah tiada.  Aku ingin setiap ilmu yang kubagikan menjadi penerang bagi mereka yang mencari jalan, menjadi pelipur lara bagi hati yang lelah, dan menjadi pengingat lembut bahwa hidup ini, seberat apa pun, selalu menyimpan kasih sayang-Nya.
Dan....Aku ingin, saat Engkau memanggilku pulang nanti, aku bisa menghadap-Mu dengan hati yang tenang, tersenyum, dan berkata:
"Ya Allah, aku sudah berusaha. Aku tahu usahaku jauh dari sempurna, tapi aku sudah mencoba mencintai-Mu sebisaku. Aku telah mencoba menjadi hamba-Mu yang bermanfaat, meski hanya lewat goresan pena dan secuil ilmu yang Engkau titipkan. Jika aku punya salah, ampunilah. Jika aku pernah menyakiti, sembuhkanlah luka mereka. Dan jika ada kebaikan yang kulakukan, biarkan itu menjadi titipan cahaya yang terus menyala, sebagai bekal perjalananku menuju-Mu."
Jadi, untuk diriku sendiri, aku ingin berkata:
Teruslah melangkah, meski pelan. Teruslah berjuang, meski sering terluka. Karena setiap langkah kecilmu selalu mengarah pada Dia yang paling mencintaimu — dan aku akan selalu ada di sini, menemanimu, sampai kita sama-sama menemukan kedamaian yang abadi.--- Dengan cinta yang tak akan pernah pudar, Dirimu yang terus belajar untuk kembali pulang.
Penutup:
Menulis surat untuk diri sendiri saat ngabuburit mengajarkanku bahwa proses pendewasaan sering kali lahir dari keheningan. Dalam detik-detik senja, aku menyadari bahwa mencintai diri bukan berarti memanjakan, melainkan menerima segala kekurangan dan tetap bersyukur atas setiap anugerah yang Allah berikan.
Jika kamu membaca ini, mungkin ini adalah panggilan lembut dari-Nya — tanda bahwa kamu juga berhak untuk memeluk diri sendiri, memaafkan kesalahan yang lalu, dan memulai lembaran baru dengan penuh harapan.
Ngabuburit bukan hanya tentang menunggu waktu berbuka, tetapi tentang menunggu hati kita kembali pulang. Pulang ke dalam dekapan kasih-Nya, dan pulang ke dalam pelukan diri sendiri yang selama ini mungkin tersesat dalam penyesalan.
Selamat berbuka puasa. Selamat berdamai dengan diri sendiri. Selamat menemukan makna Ramadan yang sesungguhnya.*_@bcreative032025