Mohon tunggu...
Leste Zega
Leste Zega Mohon Tunggu... Semoga selalu jaya di darat, dilaut dan diudara

Penulis tertarik pada isu-isu sosial, budaya, dan pendidikan. Melalui tulisan, saya berusaha menyampaikan sudut pandang dan pengalaman pribadi yang dapat menginspirasi dan memberi manfaat bagi pembaca. Menjadikan Kompasiana sebagai ruang belajar, berbagi, dan berkembang bersama komunitas literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Percaya Sebelum Mengecek Kebenarannya

13 Agustus 2025   16:47 Diperbarui: 13 Agustus 2025   17:15 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar diambil diari google rabu 13 Agustus 2025 pukul 16.20

Saya Hampir Percaya
Tragedi Jessica Radcliffe dan Paus Orcha

Setiap kali buka beranda, selalu muncul video paus orcha dan pelatihnya. Videonya viral. Awalnya saya tak ngeh, soalnya di luar negeri. Namun, selalu muncul. Coba cari tahu, eh ternyata video hoax, terus terang saya hampir percaya. Mari simak penelusuran saya sambil seruput teh tanpa gula, disudut Kampus BSI Slipi sambil Menunggu hasil Uji Kompetensi har ini.


Di suatu sore yang sunyi, dunia maya mendadak gonjang-ganjing. Bukan karena tanah rakyat milik negara, tapi karena kabar “mengerikan yang katanya terjadi di Pacific Blue Marine Park: Jessica Radcliffe, pelatih lumba-lumba yang konon cantiknya setara bintang sinetron jam 7 malam pada masanya, tewas diterkam paus orca di tengah pertunjukan. Video 47 detik itu menyebar di TikTok, Facebook, dan X seperti roti bakar gratis di acara kampus, diserbu, direbut, dan dipercaya tanpa kunyah logika. Orang-orang histeris. “Pasti gara-gara darah menstruasi! Orca bisa mencium!” teriak netizen, seolah sedang memberikan kuliah biologi kelautan di warung kopi.

Sayangnya, ketika kabar ini dibongkar, hasilnya lebih pahit dari kopi tanpa gula. Tidak ada Jessica Radcliffe di daftar pelatih mana pun di muka bumi. Bahkan, di Atlantis sekalipun. Pacific Blue Marine Park? Tidak pernah ada. Jika pun ada, paling-paling itu kolam renang tetangga yang diberi papan nama mahal. Videonya? Buatan AI, dengan gerakan air yang kaku seperti rambut disemprot hair spray lima lapis. Teori darah menstruasi? Dibantah mentah-mentah oleh pakar biologi kelautan, sama sekali tidak berdasar, dan kalau orca bisa membaca berita ini, mereka mungkin akan menggeleng sambil berkata, “Manusia ini kebanyakan nonton film horor.”

Lalu, kenapa semua orang bisa percaya? Karena kisah ini punya semua bumbu yang disukai algoritma media sosial, drama, tragedi, dan visual yang terasa “nyata”. Apalagi, ceritanya mirip dengan kejadian sungguhan, seperti tragedi Dawn Brancheau di SeaWorld tahun 2010 atau Alexis Martínez di Spanyol tahun 2009, dua peristiwa di mana orca memang benar-benar membunuh pelatih. Otak kita yang terlalu suka mencari pola langsung berteriak, “Persis! Pasti ini juga bener!” Padahal mirip itu bukan berarti sama. Kecap manis dan kecap asin sama-sama kecap, tapi coba tuang segelas lalu minum, beda nasibnya.

Pembuat video ini cerdik dan memanfaatkan teknologi yang licin. Deepfake dan generative AI menciptakan gerakan manusia dan paus orca dengan kehalusan yang membuat sutradara Hollywood iri. Efek air merah, yang katanya darah, dibuat dengan simulasi partikel digital, rapi seperti lukisan. Sudut pengambilan gambar dibuat seolah-olah dari CCTV atau dokumenter alam liar. Transisi cepat saat orca “menyambar” menciptakan ilusi spontanitas. Audio dibuat dari tumpukan suara panik penonton, cipratan air, dan ambience yang mencekam, hingga kita lupa kalau ini hanyalah sandiwara digital.

Di sinilah tragedi terbesar terjadi, bukan pada Jessica, tapi pada otak kita. Ada yang namanya efek truthiness, kalau gambar dan cerita selaras, otak kita langsung percaya, meskipun buktinya nol besar. Ditambah lagi, emosi selalu menang melawan logika. Adegan dramatis memicu rasa takut, empati, dan adrenalin, dan di saat itu, fungsi kritis otak seperti cuti tahunan. Apalagi ada kemiripan dengan peristiwa nyata; otak kita yang sok pintar langsung mengisi celah, “Ya sudah, ini pasti bener juga.”

Hoaks itu ibarat minuman segar di gelas kristal, tapi di dalamnya ada racun. Rasanya manis, bikin candu, tapi pelan-pelan mematikan akal sehat. UNESCO mencatat, lebih dari 70% pengguna internet di Asia Tenggara pernah termakan hoaks. Angka itu seperti rapor merah kolektif, kita bukan bodoh, tapi terlalu malas mengunyah informasi sebelum menelannya. Kasus Jessica Radcliffe hanyalah satu contoh bagaimana teknologi AI, algoritma media sosial, dan kemalasan verifikasi bisa membuat kebohongan terasa seperti kenyataan.

Pelajarannya? Jangan jadi orang yang memencet tombol “share” lebih cepat daripada tombol “check source”. Pastikan sumbernya jelas, cek portal berita kredibel, dan jangan pernah percaya paus orca punya akun TikTok untuk klarifikasi. Karena di zaman sekarang, percaya pada hoaks itu sama seperti memelihara paus orca di bak mandi, awalnya terlihat keren untuk pamer ke tetangga, tapi ujung-ujungnya rumah ambruk, air meluber, dan Anda tenggelam di lautan kebodohan sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun