Mohon tunggu...
L Ambar S
L Ambar S Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Ngga Bisa Bahasa Inggris Salah Siapa?

26 November 2017   14:27 Diperbarui: 26 November 2017   14:29 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pas guru nyoba nanyain murid pakai Bahasa Inggris, si murid cengir-cengir aja. Diam. Pada nunduk. Ga da jawaban. Duh siapa yang mau nunggu berlama-lama. Gurunya capek juga kan. Setelah didesak e minder katanya. Takut salah. Takut ditertawakan. Loh loh loh yang namanya belajar kan boleh salah. Tapi kan ga sampai masuk penjara. Jadi sah sah aja untuk salah. Yang penting ada usaha.

Orang bisa maju, bisa pintar kan karena punya ambisi. La kalau murid ga punya ambisi untuk bisa bagaimana dong. Murid ga ngerti buat apa dia pinter bahasa Inggris. Yang penting ga bolos sekolah aja sudah bagus. Gugur dah kewajibannya. Padahal sudah banyak contoh kan anak-anak bangsa yang sukses salah satunya karena pinter berbahasa Inggris. Contohnya ni Latifah, anak Boyolali yang kemarin sempat menginjakkan kaki di negeri paman Sam. Dia menang di ajang lomba penelitian tingkat nasional. Dapat tiket lolos ke Amerika. Dia berhak mempresentasikan karya tulisnya di sana. Pakai Bahasa Inggris juga kan. Dapat penghargaan juga lo. 

Makanya murid harusnya tahu kelak dia mau jadi apa. Guru boleh dong meminta murid menyampaikan cita-citanya di kelak kemudian hari. Yang belum punya ya didorong agar bercita-cita sesuai dengan passionnya. Punya ketrampilan berbahasa Inggris pasti akan jadi nilai lebih saat kita mencari kerja juga kan. Sering kan kita dapati iklan lowongan pekerjaan yang mencantumkan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu syaratnya.

Tetapi memang sih jadi murid zaman sekarang itu berat. Banyak banget mata pelajaran yang harus dikuasai. Ga boleh jelek nilainya. Harus KKM. Sesuai nilai standar minimal yang dicanangkan pihak sekolah. Di SMA tu satu anak harus paham lebih dari empat belas mata pelajaran lo. Karena masing-masing yang berkepentingan pengin nitipin pesan lewat pendidikan. Ya lewat materi dalam mata pelajaran itu.  

Beban murid makin berat aja. Gimana ga berat kan masing-masing mata pelajaran itu khas. Punya ciri sendiri gitu. Masih lagi ada pekerjaan rumah. Mepet lagi waktunya. Ini buat  kepentingan guru juga sih. Untuk penilaian kognitif lah, praktek lah, proyek lah, produk lah sebagaimana tertuang dalam Permendikbud No 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar.

Murid juga ga punya semangat juang yang tinggi. Maunya si membelajarkan murid untuk punya semangat bekerja keras, karakter kesungguhan, kedisiplinan e malah berujung kekonyolan di bui. Tragis bukan. Masih ingat kan kasus guru di Pare-pare yang meminta siswanya untuk mau solat berjamaah. Karena bandel dipukullah si anak tadi dengan mukena. Eh sang guru dapat ganjaran tiga bulan penjara.

Coba kalau murid punya motivasi intrinsik. Itu tu motivasi dari dalam diri mereka sendiri. Mereka ga akan anggap tugas sebagai beban yang berat. So murid akan senang melakukannya. Jadi penyemangat dan penguat hasil belajarnya. Kata Ghufron (2011) motivasi intrinsik ini bisa lo memberi kekuatan batin bagi si individu itu sendiri. Ga perlu disuruh murid akan senang berlatih berbahasa Inggris.

Guru nih tampaknya juga belum berada di posisinya. Belum  sesuailah dengan tugas pokok dan fungsinya. Guru kan sesungguhnya adalah pendidik profesional. Dia bersertifikat. Lalu tugas utamanya ni mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi murid. Nah guru ni baru di tataran sekadar transfer ilmu. Yang penting materi di kurikulum telah tersampaikan. Selesai.

 Jumlah jam mengajar di dalam kelas juga tak berbanding lurus dengan jumlah materi pembelajaran yang harus disampaikan. Mata pelajaran Bahasa Inggris Wajib nih misalnya. Per minggunya hanya dua jam. Materi yang harus disampaikan ada sekitar  lima unit. Kompleks juga sih. Habis waktu buat membahas materi. Kapan prakteknya. Wajar kan kalau kompetensi murid ga terjamah semuanya.

Bila guru ga bisa menyelesaikan materi nih seperti dikejar-kejar rasa bersalah. Sudah begitu ada rasa khawatir murid ga mampu mengerjakan soal penilaian harian maupun penilaian semester. Padahal yang namanya penilaian ini sudah dijadwalkan. Lagi-lagi soal yang disajikan hanya mengedepankan kompetensi membaca (reading). Kompetensi yang lain pun jadi terabaikan.

Guru jadi kurang peduli sama muridnya saking banyaknya kelas dan murid yang diampu. Ga banyak deh guru yang paham betul akan kompetensi muridnya. Lebih-lebih hubungannya dengan ketrampilan menulis dan berbicara. Guru sih ga akan sanggup melakukan pelatihan per individu. Guru hanya sanggup membenahi kekurangan anak semisal kesalahan tata bahasa, pengucapan, maupun intonasi itu secara klasikal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun