Isu yang muncul di tengah masyarakat sering kali menjadi dorongan bagi penulis untuk menyampaikan kritik dan gagasan melalui artikel. Tulisan-tulisan tersebut tidak hanya memberi informasi, tetapi juga membantu pembaca memahami persoalan bangsa dari sudut pandang yang lebih luas. Ketiga artikel yang dibahas kali ini, yaitu Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu karya F. Rahardi, Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal yang diterbitkan dalam Editorial Tempo, dan Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati karya Budiman Tanuredjo, membicarakan tema yang berbeda namun sama-sama menyinggung soal kepercayaan publik, tata kelola, dan keteladanan. Melalui tulisan ini, gagasan dari ketiga artikel akan dianalisis untuk melihat relevansinya dengan kondisi Indonesia saat ini serta mencari solusi yang dapat dilakukan bersama.
Artikel Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu karya F. Rahardi menunjukkan bahwa ledakan ulat bulu bukanlah ancaman besar bagi pertanian maupun kesehatan, melainkan lebih pada masalah rendahnya pemahaman masyarakat. Ia menulis bahwa fenomena ini sebenarnya tidak membahayakan, tetapi reaksi sosial yang berlebihan membuat masyarakat panik. Dalam tulisannya, Rahardi juga menceritakan pengamatannya di Purwakarta, ketika banyak kupu-kupu beterbangan sebagai bagian dari siklus alam. Dari sini terlihat bahwa kepanikan justru lahir dari ketidakpahaman serta minimnya pendidikan ekosistem yang seharusnya dapat membantu masyarakat menghadapi peristiwa alam secara wajar.
Kritik tentang lemahnya pemahaman publik dalam artikel Rahardi sejalan dengan gagasan Editorial Tempo berjudul Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal. Editorial tersebut menyoroti buruknya tata kelola pemerintah dalam menangani kasus pagar laut di pesisir Tangerang. Penyidikan semestinya tidak sulit karena pemasangan pagar laut melibatkan banyak orang yang bisa dimintai keterangan, namun kenyataannya proses hukum berlangsung bertele-tele. Editorial juga menegaskan bahwa Presiden tidak boleh menganggap enteng polemik tersebut karena jika dibiarkan hanya akan melemahkan kepercayaan masyarakat dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. Dengan demikian, baik dalam persoalan lingkungan maupun penegakan hukum terlihat bahwa lemahnya koordinasi dan literasi menjadi sumber masalah.
Pandangan tersebut berkaitan erat dengan tulisan Budiman Tanuredjo berjudul Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati. Budiman menekankan bahwa bangsa ini tidak hanya menghadapi persoalan teknis, tetapi juga krisis keteladanan. Menurutnya, aturan etika yang sudah dituangkan dalam ketetapan MPR hanya menjadi teks kosong tanpa makna. Ia mengingatkan bahwa tokoh-tokoh bangsa seperti Hatta, Agus Salim, atau Gus Dur pernah menjadi teladan, namun saat ini sulit menemukan pemimpin yang benar-benar menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Dari sini dapat dipahami bahwa lemahnya penegakan hukum maupun reaksi berlebihan masyarakat dalam menghadapi masalah tidak terlepas dari hilangnya keteladanan dan nilai etika di ruang publik.
Masalah yang diangkat dalam ketiga tulisan tersebut sangat nyata dalam situasi Indonesia sekarang. Kasus pagar laut ilegal di Pesisir Utara Tangerang yang ramai pada awal 2025 memperlihatkan lemahnya koordinasi lembaga pemerintah sehingga Presiden harus turun tangan agar penyidikan segera diselesaikan. Pada sisi lain, krisis etika terlihat dari perilaku sebagian pejabat yang mengabaikan sumpah jabatan ketika membahas aturan atau kebijakan demi kepentingan politik kelompok. Sementara itu, di beberapa daerah Jawa masih muncul kepanikan masyarakat akibat serangan hama seperti belalang dan ulat bulu karena kurangnya penyuluhan lingkungan yang mudah dipahami. Semua ini menunjukkan bahwa persoalan etika, hukum, dan literasi saling terkait dan tidak bisa dipandang terpisah.
Sejumlah langkah sebenarnya sudah dilakukan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Polri telah membentuk tim investigasi gabungan untuk menyelidiki kasus pagar laut ilegal. DPR juga berusaha menghidupkan kembali badan etik guna menindak pelanggaran anggota dewan. Dalam bidang lingkungan, pemerintah daerah sudah mulai mengadakan penyuluhan untuk petani tentang pengendalian hama secara biologis. Namun langkah-langkah tersebut masih bersifat terbatas sehingga belum menyentuh akar masalah yang lebih dalam.
Ke depan, diperlukan penguatan koordinasi hukum yang transparan, penegakan kode etik politik yang konsisten, serta peningkatan literasi lingkungan di sekolah maupun masyarakat umum. Media perlu memperkuat jurnalisme investigatif agar masyarakat mendapat informasi yang benar dan tidak termakan rumor. Sektor swasta juga wajib melibatkan masyarakat sebelum melaksanakan proyek besar yang mempengaruhi ruang publik. Jika semua pihak bergerak bersama, persoalan yang diangkat dalam tiga artikel tersebut dapat ditangani lebih baik dan tidak terulang di masa mendatang.
Kesimpulannya, tiga tulisan yang berbeda tema ini saling terhubung karena sama-sama mengangkat persoalan kepercayaan publik. F. Rahardi mengingatkan pentingnya pemahaman ilmiah dalam menghadapi fenomena lingkungan, Editorial Tempo menegaskan bahaya lemahnya penegakan hukum terhadap kepercayaan masyarakat, dan Budiman Tanuredjo menekankan bahwa etika tanpa tindakan hanyalah teks mati. Semua ini bermuara pada satu hal, yakni perlunya keseriusan bangsa dalam menegakkan aturan, menghadirkan keteladanan nyata, serta membangun literasi masyarakat agar kehidupan berbangsa dapat berjalan lebih adil dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI