Pernah suatu kali, saya duduk di peron stasiun dan mendengar percakapan dari berbagai arah. Di sebelah kiri, dua ibu berbicara dalam bahasa Jawa halus, suaranya lembut dan penuh unggah-ungguh. Di depan saya, sekelompok anak muda bercanda riuh dengan logat Batak yang khas, setiap tawa mereka seolah membawa energi dari tanah asalnya. Tak jauh dari situ, seorang bapak tua menelpon keluarganya dalam bahasa Madura, nadanya tegas namun hangat. Sementara dari pengeras suara, terdengar pengumuman dalam Bahasa Indonesia yang jelas dan lugas, menjadi penengah di antara semua bunyi yang bersahutan.
Saya tersenyum kecil. Di satu ruang tunggu yang sempit, saya sedang menyaksikan harmoni paling indah di negeri ini, harmoni dari perbedaan bahasa. Begitu banyak lidah berbicara, namun tak satu pun meniadakan yang lain. Semua berpadu, saling memberi ruang, seolah tenunan warna-warni yang membentuk satu kain utuh bernama Indonesia.
Itulah Indonesia: negeri dengan ribuan suara yang berpadu dalam satu irama. Negeri yang mungkin berbeda-beda lidahnya, tetapi tetap satu rasa di dada. Bahasa-bahasa itu seperti benang-benang halus yang menenun kisah bangsa, menyatukan keberagaman menjadi keindahan yang tak ternilai.
Bahasa, Identitas, dan Rasa Memiliki
Setiap bahasa menyimpan cerita. Ia bukan sekadar kumpulan kata, tetapi juga tempat bersemayamnya nilai-nilai, adat, dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh nenek moyang kita.
Ketika seseorang berbicara dalam bahasa ibunya, seolah ada kehangatan yang tak tergantikan, sebuah kenyamanan yang tidak bisa disamakan dengan bahasa mana pun.
Saya ingat bagaimana bapak saya dulu sering menasihati dengan bahasa Jawa.
"Ojo lali karo asalmu," katanya lembut setiap kali saya terlalu sibuk dengan urusan sekolah dan lupa membantu di rumah.
Jangan lupa asalmu.
Kalimat itu sederhana, tapi belakangan saya mengerti bahwa yang ia maksud bukan hanya soal tempat lahir, tetapi tentang jati diri. Bahasa daerah adalah pintu menuju akar budaya kita. Dari bahasa, kita belajar tata krama, rasa hormat, dan cara menempatkan diri dalam masyarakat.
Ketika bahasa daerah mulai ditinggalkan, sejatinya kita kehilangan sebagian cara untuk memahami diri sendiri. Banyak orang muda sekarang lebih nyaman berbahasa Indonesia atau bahkan Inggris, tapi tanpa disadari, kehilangan kemampuan berbicara dalam bahasa ibu bisa membuat jarak antara generasi makin lebar.
Bayangkan seorang cucu yang tak lagi bisa mengerti cerita kakeknya hanya karena tak paham bahasa yang digunakan. Di situ, bukan hanya kata yang hilang, tapi juga warisan perasaan dan kenangan yang tak bisa tergantikan.