Mohon tunggu...
Leni Mathavani
Leni Mathavani Mohon Tunggu... Narratives with integrity. Insights with impact.

Penulis dan Psikolog yang merangkai cerita ringan dengan sentuhan psikologi, refleksi kerja, dan keheningan sehari-hari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan yang Tidak Terburu-Buru

28 September 2025   07:04 Diperbarui: 29 September 2025   07:42 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Seperti perjalanan sebelumnya, pastikan semua yang kamu butuhkan ada di dalam tas, ya. Tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi di kota itu juga diperiksa kembali," bisik Pak Leo, suaranya lembut tapi penuh arah. "Dan satu hal lagi... pastikan perjalanan ini membuat kamu bahagia."

Awan putih membentang luas di luar jendela pesawat, seperti kanvas raksasa yang menunggu warna kehidupan. Di dalam kabin yang tenang, Pak Leo (95) dan Ibu Tatjiana (87) duduk berdampingan. Mereka tak lagi terburu-buru. Perjalanan ini bukan soal destinasi, tapi tentang menyusun ulang makna pulang.

Ibu Tatjiana, perempuan yang tetap memancarkan ketenangan, tersenyum. Rambutnya tertata rapi, kulitnya bercahaya meski hanya mengenakan pakaian sederhana. Matanya menyimpan cahaya yang tak bisa dibeli. "Kami ingin mengucap syukur di setiap tempat doa anak-anak Tuhan," katanya, seperti aliran sungai yang tak pernah tergesa.

Pak Leo dulunya seorang konglomerat. Ia membangun bisnis dari nol, memimpin ribuan orang, dan pernah menjadi wajah kemajuan. Tapi hari ini, ia hanya ingin menjadi suami yang hadir. Semua telah ia serahkan kepada anak-anaknya. "Mereka hebat," katanya. "Sekarang giliran kami menyiapkan yang lebih abadi."

Mereka tak lagi terikat pada benda-benda yang dulu menjadi simbol keberhasilan. Jam tangan mahal, mobil dinas, bahkan ruang kantor di lantai tertinggi, semuanya telah dilepaskan dengan tenang. "Semakin sedikit yang kita bawa," kata Pak Leo suatu pagi, "semakin ringan langkah kita menuju rumah yang sebenarnya." Ibu Tatjiana mengangguk, matanya menyimpan kedamaian. Mereka memilih membawa yang tak bisa diukur: waktu bersama, doa yang tulus, dan rasa syukur yang tak pernah habis.

Pak Leo sudah tak lagi berjalan dengan mudah. Tongkatnya menjadi sahabat setia, dan setiap langkah adalah perjuangan kecil. Tapi ia tak pernah ingin merepotkan siapa pun. Di bandara, ia menolak kursi roda, memilih berjalan pelan sambil tersenyum kepada petugas. Di kota-kota yang mereka kunjungi, ia selalu berkata, "Saya baik-baik saja," meski tubuhnya jelas lelah. Bagi Pak Leo, menjaga kenyamanan orang lain adalah bentuk kasih yang tak perlu diumumkan. Ia ingin perjalanan ini tetap ringan, bukan karena tubuhnya kuat, tapi karena hatinya memilih untuk tidak membebani.

Di setiap tempat yang mereka singgahi, Pak Leo dan Ibu Tatjiana tak hanya berdoa, mereka hadir sepenuh hati. Mereka menyapa petugas gereja dengan senyum hangat, berbincang dengan anak-anak kecil yang bermain di halaman, dan mendengarkan cerita warga setempat dengan penuh perhatian. Kata-kata mereka tak pernah terburu-buru, tak pernah tinggi. "Terima kasih sudah menjaga tempat ini," ucap Pak Leo dengan suara pelan namun dalam. Ibu Tatjiana menambahkan, "Semoga damai selalu tinggal di sini." Mereka memilih kata-kata yang lembut, karena mereka tahu: di usia senja, kelembutan adalah bentuk kekuatan yang paling tulus.

Mereka mengunjungi gereja-gereja dari Sabang hingga Merauke. Bukan sebagai tamu kehormatan, tapi sebagai dua orang tua yang ingin berterima kasih. Di gereja tua Bandung, mereka duduk di baris depan, mendengarkan kidung pujian yang membawa jiwa ke tempat teduh. Di gereja Bali, mereka tersenyum di antara bunga segar. Di Papua, mereka ikut bernyanyi bersama komunitas yang penuh sukacita.

Di Flores, di gereja kecil yang sunyi, Pak Leo naik ke mimbar sederhana. "Tuhan," katanya pelan, "kami datang dengan hati yang sederhana. Hidup ini kami persembahkan sebagai ucapan syukur."
Ibu Tatjiana menangis pelan. Bukan karena sedih, tapi karena tahu: cinta yang mereka bawa telah menemukan ritmenya.

Setelah bulan-bulan perjalanan, mereka kembali ke rumah yang tenang. Di teras yang menghadap langit senja, Pak Leo dan Ibu Tatjiana duduk berdampingan. Warna langit berganti pelan, seperti lukisan yang tahu kapan harus berhenti.

Pak Leo menggenggam tangan istrinya, jemarinya tak sekuat dulu, tapi masih penuh makna. "Mungkin rumah yang ditunggu sudah dekat," katanya. Bukan sebagai pernyataan, tapi sebagai pengakuan yang lahir dari kedalaman jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun