Mohon tunggu...
Leni Fatma
Leni Fatma Mohon Tunggu... Penulis - Mengubah luka menjadi aksara

Membias luka dengan menulis, membaca dan menonton

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kalimah Dzikir Penjual Kopi

2 November 2019   12:09 Diperbarui: 2 November 2019   12:16 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Alhamdulillah" terdengar suara nan indah persis dari belakangku. aku memang tidak menengok, aku fikir memang ada suatu percakapan diantara dua orang atau bahkan lebih yang berjalan dibelakangku, tetapi ternyata bukan. Kulihat, nampak seorang ibu berjalan lincah mendahuluiku. Membawa nampan plastik dengan beberapa gelas berisikan kopi.

Lantas akupun terheran, sepengetahuanku Alhamdulillah berartikan "Pujian itu hanya untuk Allah"  merupakan ungkapan atas rasa syukur seorang muslim atas karunia Allah.

Tidak ada apa-apa, namun beliau melafazkan Alhamdulillah, terlafazkan pula kalimah Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maulana waanikman nashir
Artinya :
"Cukuplah Allah sebagai tempat diri bagi kami, sebaik-baiknya pelindung dan sebaik-baiknya penolong kami."

Aku hanya terpana menatapnya, lisannya senantiasa berdzikir. Maa syaa' Allah.


Temanku yang sedari tadi berdiri di depan tuts tuts angka liftpun lalu menanyakan ibu penjual kopi.


"Bu mau lantai berapa?" Jemari bersiap-siap menekan rentetan angka-angka
"Lima, terimakasih ya" jawabnya singkat lantas melanjutkan kalimah dzikirinya
"Alhamdulillah, wa syukurillah".
"Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maulana waanikman nashir". Terlantun sepanjang menuju lantai didalam lift.

"Terimakasih ya mba" keluar lift sembari terus berjalan.


Lift yang tadi terlantun dengan kalimah dzikir ibu penjual kopi, mendadak senyap. Satu persatu orang yang menaiki lift juga sudah berangsur turun. Aku  bergumam, berdecak kagum kepada ibu tersebut.

"Kapan ya nia, aku kaya ibu itu, lisannya terbiasa dzikir, terbiasa mengucap yang baik dan indah" tanyaku kepada nia, seraya meleleh sejadi-jadinya tersebab lafaz-lafaz dzikir dari lisan ibu penjual kopi itu.
.
Benar-benar renungan, lisan kita jangankan terlafazkan kalimah dzikir dalam setiap detik waktu, setiap detak jantung. Memperoleh nikmat banyakpun kerap sekali kita lupa mengucap syukur, kecil sekali rasa syukur atas nikmat-Nya yang sangat amat begitu besar. Lisan kita lebih tersering membicarakan keburukan orang lain. Kebiasaan buruk yang senantiasa tertanam hingga mengakar lantas kian membesar. Astaghfirullah.
.
Semoga dapat diambil Hikmahnya mencontoh ibu penjual kopi yang terbiasa akan kalimah dzikir. Lisan yang senantiasa melafazkan kalimah-kalimah indah. Maa syaa' Allah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun