Pandeglang, 10 Juli 2025 --- Di tengah gempuran produk industri dan perubahan gaya hidup masyarakat, sebagian pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di pedesaan masih setia menjaga tradisi produksi lokal. Salah satu pelaku UMKM yang telah membuktikan ketahanan dan konsistensinya adalah Emping Srikandi & Keceprek Melinjo RAI Srikandi, yang dimiliki oleh Ibu Wiwin, warga Kampung Tegallega, Desa Karya Utama, Kecamatan Cikedal, Kabupaten Pandeglang, Banten.
Sebagai bagian dari program pengabdian masyarakat, Kelompok 31 dari Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) Universitas Bina Bangsa melakukan observasi dan wawancara langsung pada Kamis, 10 Juli 2025 pukul 08.30--11.00 WIB. Tujuannya adalah untuk memahami proses produksi emping melinjo serta mengetahui kontribusi UMKM terhadap pembangunan ekonomi desa.
"Kami sengaja memilih UMKM ini karena selain produknya dikenal luas, proses produksinya mencerminkan kearifan lokal yang penting untuk dilestarikan," ujar Hafid, Koordinator Lapangan KKM Kelompok 31.
Usaha yang telah berjalan sejak 2001 ini menggunakan metode yang masih tradisional: biji melinjo disangrai di atas pasir panas, lalu ditumbuk secara manual hingga pipih, kemudian dijemur. Keceprek melinjo dibuat dengan bentuk dan penyajiannya berbeda, serta tersedia dalam beragam rasa. Harga jual per kilogram adalah Rp55.000 untuk emping dan Rp75.000 untuk keceprek.
"Kami tetap pakai cara tradisional karena rasanya jauh lebih khas dan pelanggan kami memang mencari yang seperti itu," tutur Ibu Wiwin dalam wawancaranya.
UMKM Emping Srikandi turut memberdayakan masyarakat sekitar, khususnya ibu rumah tangga yang terlibat dalam proses produksi. Tidak hanya memberikan penghasilan tambahan, tetapi juga menjaga ritme produktivitas warga di sela pekerjaan domestik.
"UMKM seperti ini punya dampak ganda: secara ekonomi menggerakkan pendapatan masyarakat, dan secara sosial menciptakan semangat gotong royong," jelas Mahar, divisi ekonomi KKM Kelompok 31.
Produknya telah dipasarkan tidak hanya di wilayah Pandeglang, tetapi juga merambah ke kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang, bahkan hingga Lampung, berkat jaringan penjualan mulut ke mulut dan bazar-bazar lokal.
Meskipun telah berjalan puluhan tahun, UMKM ini masih menghadapi tantangan klasik: naik-turunnya harga bahan baku, cuaca yang memengaruhi proses penjemuran, dan keterbatasan akses promosi.