Oleh: Leidy Vit Akiko Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Pamulang.
Di tengah hiruk-pikuk birokrasi negeri ini, ada sekelompok orang yang sering luput dari sorotan publik: pegawai honorer. Mereka adalah guru, tenaga kesehatan, petugas administrasi, satpam, hingga petugas kebersihan yang setiap hari hadir melayani masyarakat. Meski status mereka hanya "sementara", kontribusi mereka nyata dan tidak bisa dianggap remeh.
Jumlah mereka masih sangat besar. Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) tahun 2022 mencatat lebih dari 2,3 juta pegawai honorer tersebar di berbagai instansi. Sebagian telah berhasil diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), khususnya di sektor pendidikan dan kesehatan. Namun di lapangan, masih banyak yang belum tersentuh kebijakan pengangkatan. Mereka tetap menyandang status honorer, dengan pendapatan rendah dan tanpa kepastian karier.
Masalah utama yang mereka hadapi adalah kesejahteraan. Gaji yang diterima sering kali tidak mencukupi kebutuhan hidup layak. Seorang guru honorer di sekolah dasar, misalnya, rata-rata hanya memperoleh Rp1,2 juta per bulan. Bahkan ada petugas administrasi yang menerima gaji tidak lebih dari Rp300 ribu per bulan. Ketimpangan ini jelas kontras dengan beban kerja yang mereka jalani. Mereka melakukan pekerjaan yang sama dengan ASN, tetapi hak yang diterima sangat jauh berbeda.
Fenomena ini sudah berlangsung puluhan tahun. Banyak pegawai honorer yang bertahan belasan hingga puluhan tahun dengan status "sementara" yang tak kunjung berubah. Memang ada perubahan sejak 2021 ketika pemerintah membuka seleksi PPPK dalam jumlah besar. Ribuan tenaga honorer akhirnya berhasil diangkat, namun kebijakan itu belum menuntaskan masalah. Masih banyak yang harus puas dengan status lama tanpa kepastian.
Kehadiran pegawai honorer bisa dijumpai di berbagai lini. Di sekolah-sekolah pelosok, mereka setia mengajar anak-anak bangsa. Di puskesmas dan rumah sakit daerah, mereka ikut merawat pasien. Di kantor desa hingga dinas pemerintahan, mereka melayani administrasi masyarakat. Bahkan di lingkungan kantor pemerintahan, merekalah yang menjaga kebersihan dan keamanan. Singkatnya, tanpa pegawai honorer, roda pelayanan publik bisa tersendat.
Pertanyaannya, mengapa mereka tetap bertahan? Jawabannya ada pada motivasi. Bagi sebagian honorer, pekerjaan bukan sekadar soal gaji. Ada rasa tanggung jawab yang membuat mereka tetap hadir. Ada harga diri ketika bisa bekerja, meski penghasilan kecil. Ada pula harapan bahwa suatu hari status mereka akan berubah menjadi lebih baik. Saya pribadi teringat seorang kerabat yang sudah lebih dari 15 tahun menjadi tenaga honorer di sekolah. Setiap hari ia menempuh perjalanan hampir dua jam hanya untuk mengajar di daerah pinggiran. Gajinya bahkan tidak cukup untuk menutup ongkos, tetapi ia tetap bertahan karena merasa mengajar adalah panggilan jiwa. Untuk memenuhi kebutuhan, ia berjualan kecil-kecilan di sela waktu. Kisah ini membuat saya kagum sekaligus miris. Kagum karena semangat mereka luar biasa, miris karena negara belum memberi balasan yang setimpal.
Untuk bertahan hidup, banyak pegawai honorer mencari pekerjaan sampingan. Ada yang berjualan online, membuka warung kecil, hingga bekerja serabutan setelah jam dinas. Namun di balik semua itu, mereka tetap menjaga dedikasi di tempat kerja utama. Mereka bekerja bukan hanya demi nafkah, tetapi juga demi menjaga komitmen pada pelayanan publik.
Pengangkatan honorer menjadi PPPK adalah langkah baik, tetapi belum cukup. Pemerintah perlu menyelesaikan persoalan honorer secara menyeluruh, termasuk mereka yang berada di luar sektor pendidikan dan kesehatan. Menghargai pegawai honorer bukan sekadar menaikkan gaji atau memberi status ASN. Lebih dari itu, ini tentang pengakuan atas pengabdian mereka. Puluhan tahun mereka membuktikan kesetiaan pada negara, meski negara belum sepenuhnya hadir bagi mereka.
Motivasi luar biasa dari para honorer seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua. Jika mereka saja rela bertahan dengan segala keterbatasan, mengapa negara tidak bisa lebih serius memastikan kesejahteraan mereka?
Pegawai honorer adalah wajah lain dari pengabdian. Mereka hadir dalam diam, bekerja dalam keterbatasan, tetapi tetap setia melayani masyarakat. Sudah saatnya kita berhenti memandang mereka hanya sebagai "tenaga tambahan". Mereka adalah bagian penting dari pelayanan publik yang layak mendapatkan keadilan. Di balik setiap pegawai honorer, ada keluarga yang menggantungkan harapan, ada masyarakat yang terbantu, dan ada bangsa yang seharusnya berterima kasih.