Mohon tunggu...
Mas De Sakunab
Mas De Sakunab Mohon Tunggu... Wiraswasta - Palate!

Penulis lepas. Tinggal di sekitar yang ada. Keseharian setia menikmati perilaku sosial, budaya dan diplomasi. Cenderung mengagumi ketimbang memiliki. Kini sedang dalam proses mencari dan menjadi yang terbaik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Malam

21 Agustus 2020   20:14 Diperbarui: 21 Agustus 2020   20:24 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu malam, setelah kembali dari tempat kerja, saya duduk termenung untuk berbicara dengan diri sendiri. Ditemani kopi kapal api, saya membaca rekam jejak seharian. Sembari jalan, lirik lagu Franky & Jane"...naik PPD ku duduk dekat jendela..." juga berbaur beradu bersama aroma kopi.

Rupanya lagu PPD cukup membius perhatian saya. Lagu ini mengantar saya mengingat saat-saat tadi di tengah kemacetan, saya berdiri persis di balik jendela trans busway. Saat-saat membuang pandangan ke luar jendela, yang ada di benak adalah kesempatan. Yaa, kesempatan untuk bisa secepatnya menyalip kendaraan yang ada di depan. Sambil memandang, banyak hal muncul di seputaran kepala menambah kamus dalam pikiran ini.

Pada satu titik, kepala terasa makin membesar. Beruntung ada pemandangan yang bisa membuat relax kembali kepala ini. Saya coba memandangi nenek paruh baya yang menolak untuk duduk di kursi prioritas. Alasan dia karena sudah mau turun. Saya tetap menenangkan diri agar kuat menghadapi bayangan diri sendiri.

Gelap kian bertambah. Saya enggan bangun dari kursi yang lama dipenuhi sarang laba-laba. Saya khusyuk mendengar bunyi kendaraan di pinggir tol. Memang bunyi ini adalah ritual tanpa ujung bagi saya dan telah melebur. Saya tidak memiliki keberanian yang cukup untuk mengusik kesunyian dalam jalan menuju diri sendiri. Ada kepuasan batin tersendiri.

Polusi hari ini belum juga surut dari tubuh. Diam-diam saya coba ingin menciptakan kesempatan sendiri. Entah kesempatan menjadi tamu atau pun menjadi tuan rumah. Tetapi saya tidak ingin memaksakan diri mengambil kesempatan yang bukan dibuat oleh diri. Toh, kesempatan setiap orang berbeda datangnya.

Setelah sekian ratus detik menyeruput kopi, saya berniat datang ke rumah tetangga paling ujung. Saya membayangkan kalau-kalau ia akan memberikan tawa yang paling tampan. Mempersilahkan saya masuk dan menyediakan kesempatan yang paling mudah untuk diraih.

Saya melihat cermin. Yang ada di sana adalah saya sendiri. Saya coba mengubur sementara niat itu. Cahaya bulan mulai memenuhi pohon dan ranting-rantingnya. Wangi bunga melati kian menari kesana kemari menyambut datangnya bulan.

Saya terdiam sesaat. Hingga yang ada hanyalah kesempatan, lelaki & rembulan. "Kita adalah kesempatan"!

bersambung....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun