Kebijakan nilai tukar merupakan salah satu pilar utama dalam sistem moneter internasional. Negara-negara di dunia memilih antara kurs tetap, mengambang, atau sistem campuran tergantung pada kondisi ekonomi domestik dan tekanan eksternal. Pada Juli 2024, Ethiopia mengambil langkah drastis dengan menerapkan sistem kurs mengambang. Kebijakan ini bukan semata pilihan internal, melainkan sebagai syarat penting untuk memperoleh akses terhadap pembiayaan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam artikel ini akan mengulas secara mendalam latar belakang keputusan tersebut, proses implementasi, dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan, serta maknanya dalam konteks sistem moneter internasional.
Selama bertahun-tahun, Ethiopia mengelola nilai tukarnya melalui sistem kurs tetap yang dikontrol oleh Bank Nasional Ethiopia (NBE). Nilai tukar birr terhadap dolar AS ditentukan secara administratif yang menyebabkan distorsi besar di pasar, memperlebar kesenjangan antara nilai tukar resmi dan pasar gelap. Keadaan ini memperparah kekurangan devisa dan melemahkan daya saing ekspor Ethiopia. Sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang fluktuatif dan tekanan fiskal tinggi, Ethiopia menghadapi defisit neraca pembayaran, utang luar negeri yang meningkat, dan ketergantungan besar pada bantuan eksternal. Untuk mengatasi kondisi tersebut dan membuka akses ke pembiayaan baru, Ethiopia mengajukan proposal program reformasi ekonomi ke IMF. Salah satu syarat utama IMF adalah liberalisasi nilai tukar, yakni penerapan kurs mengambang.
Pada 29 Juli 2024, Ethiopia resmi mengumumkan transisi ke sistem kurs mengambang. Bank sentral berhenti menetapkan nilai tukar tetap dan membiarkan birr ditentukan oleh pasar. Sebelumnya, nilai tukar birr dikendalikan secara administratif oleh otoritas moneter. Setelah reformasi, pasar (pelaku ekspor-impor, bank, dan pedagang valas) menentukan nilainya. Â Akibatnya, birr mengalami depresiasi tajam, dari 57,48 menjadi sekitar 74,73 birr per dolar AS, turun hampir 30%. Karena permintaan terhadap dolar lebih tinggi dibanding birr di pasar bebas, maka nilai birr jatuh atau melemah secara signifikan. Hal ini umum terjadi saat transisi ke kurs mengambang. Transisi ini merupakan bagian dari Homegrown Economic Reform Agenda, program domestik yang disesuaikan dengan kerangka pembiayaan IMF.
Sebagai respons terhadap komitmen reformasi Ethiopia, IMF menyetujui program Extended Credit Facility (ECF) selama empat tahun untuk membantu negara-negara dengan masalah struktural dalam neraca pembayaran dengan total pembiayaan sebesar USD 3,4 miliar. IMF segera mencairkan tranche pertama sekitar USD 1 miliar untuk mendukung anggaran dan neraca pembayaran Ethiopia. Dana ini juga digunakan untuk memperkuat cadangan devisa agar bank sentral bisa tetap menjalankan kebijakan moneter dengan stabil selama Ethiopia beralih ke sistem nilai tukar mengambang.
Meskipun secara makroekonomi dianggap langkah yang diperlukan, dampak jangka pendek dari penerapan kurs mengambang sangat signifikan. Namun, dalam waktu dekat setelah kebijakan diterapkan, terjadi gejolak ekonomi yang berat terutama terkait harga dan kesejahteraan masyarakat. Devaluasi birr memicu kenaikan harga barang-barang impor, terutama kebutuhan pokok seperti bahan bakar dan minyak goreng, yang naik hingga 25%. Inflasi meningkat tajam dan menimbulkan tekanan besar pada rumah tangga berpendapatan rendah.
Sebagai respons, pemerintah mengalokasikan sekitar 1,5% dari PDB untuk memperluas program jaring pengaman sosial dan subsidi sementara untuk barang-barang penting. Meski begitu, gelombang kenaikan harga memicu keresahan sosial karena pemerintah sudah memberikan bantuan tetapi, kenaikan harga tetap menyebabkan keresahan di masyarakat, terutama karena daya beli menurun drastis. Pemerintah lokal di Addis Ababa menindak tegas spekulan yang memperburuk keadaan. dan lebih dari 70 toko ditutup karena dituduh melakukan penimbunan barang dan menjual dengan harga yang sangat tinggi sehingga memperburuk krisis harga.
Namun, dari sisi sistem moneter, kurs mengambang mulai memberikan dampak positif. Perbedaan antara nilai tukar resmi dan pasar gelap menyempit karena sebelumnya kurs resmi jauh berbeda dari kurs pasar gelap. Setelah kurs mengambang diterapkan, harga mata uang menjadi lebih wajar dan realistis. Menciptakan transparansi di pasar valuta asing dan mengurangi insentif untuk perdagangan valas ilegal. Selain itu, peningkatan ekspor emas dan pengurangan intervensi bank sentral membantu memperkuat cadangan devisa negara, yang meningkat menjadi USD 1,3 miliar pada akhir 2024, melebihi target awal sebesar USD 630 juta.
Kebijakan Ethiopia mencerminkan realitas baru dalam sistem moneter internasional di mana fleksibilitas nilai tukar menjadi semakin penting. IMF, sebagai lembaga sentral dalam arsitektur keuangan global, mendorong penerapan kurs mengambang oleh negara-negara berkembang untuk menciptakan nilai tukar yang lebih mencerminkan fundamental ekonomi dan memperkuat daya saing internasional.
Meskipun kebijakan ini memberikan hasil ekonomi tertentu, timbul pertanyaan tentang sejauh mana Ethiopia memiliki kebebasan untuk menentukan kebijakannya sendiri, tanpa tekanan eksternal. Ethiopia tidak sepenuhnya memilih kebijakan ini atas inisiatif domestik, melainkan sebagai prasyarat pembiayaan IMF agar Ethiopia bisa mengakses pinjaman dan bantuan dana. Jadi, negara itu harus memilih antara mengikuti arahan IMF atau tidak mendapatkan bantuan keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang sering menghadapi dilema antara kebutuhan pendanaan dan kendali atas kebijakan moneter mereka sendiri.
Pada akhirnya, transisi Ethiopia ke sistem kurs mengambang pada tahun 2024 merupakan langkah besar dalam upaya mengatasi krisis ekonomi dan mengakses pembiayaan IMF. Kebijakan ini menandai perubahan paradigma dalam pengelolaan nilai tukar dan integrasi lebih dalam ke dalam sistem moneter internasional. Meski memberikan manfaat dalam hal transparansi pasar dan peningkatan cadangan devisa, dampaknya terhadap harga-harga dan kesejahteraan masyarakat sangat terasa. Pengalaman Ethiopia memberikan pelajaran penting bagi negara-negara lain liberalisasi ekonomi harus disertai dengan kebijakan pendukung yang kuat dan perlindungan sosial untuk meredam dampak negatif jangka pendek. Dalam konteks sistem moneter global, langkah Ethiopia menunjukkan bahwa stabilitas makroekonomi nasional semakin terkait erat dengan konsensus dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh lembaga internasional seperti IMF.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI