Mohon tunggu...
Lita Istiyanti
Lita Istiyanti Mohon Tunggu... Aktifis air, sanitasi dan lingkungan

Love what you do, Do what you love

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menyampah Digital : Saat Sampah tak Lagi Berwujud, Tapi Tetap Membebani

1 Oktober 2025   17:17 Diperbarui: 1 Oktober 2025   17:17 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kita hidup di zaman ketika hampir semua hal bisa diubah menjadi file. Foto-foto tersimpan di galeri, catatan kuliah pindah ke folder, musik berjejer di playlist, percakapan jadi arsip chat, bahkan kenangan sehari-hari tersimpan dalam bentuk screenshot. Semua terasa praktis, rapi, seolah-olah tak lagi ada tumpukan. Tak ada bau busuk, tak ada plastik berserakan, tak ada kardus menumpuk. Yang ada hanyalah layar bersih, seakan semuanya tak terbatas.

Tapi, coba jujur sebentar: berapa banyak foto buram yang masih kau biarkan mengendap di galeri? Berapa banyak email promosi yang masuk tanpa pernah kau buka? Berapa ratus file yang kau simpan dengan nama "final revisi beneran terakhir fix.docx"? Semua itu sebenarnya adalah sampah. Bukan sampah dalam arti fisik yang bisa kita lihat atau kita pungut, melainkan sampah digital---tumpukan tak kasat mata yang diam-diam membebani bumi, juga diri kita sendiri.

Fenomena ini nyaris tidak pernah kita sadari, karena otak kita terbiasa menganggap digital itu "ringan", "gratis", dan "tidak berwujud". Padahal, setiap byte yang kita simpan berarti ada server yang harus menyala 24 jam, ada listrik yang tersedot, ada pendingin raksasa yang bekerja, ada energi yang dikorbankan. Semua itu bermuara pada satu hal: jejak karbon.

Sampah digital bukan hanya soal kapasitas penuh di ponsel, tetapi juga soal beban yang diwariskan pada planet ini. Dan ironisnya, semakin kita merasa "modern", semakin banyak kita menyampah---tanpa pernah merasa bersalah.

Sampah yang Tak Berbau, Tapi Nyata

Kalau ada botol plastik menggelinding di jalan, kita bisa langsung menunjuk: itu sampah. Kalau ada sisa makanan berjamur di dapur, kita tahu itu sampah. Tapi kalau ada ribuan email menumpuk di inbox? Kalau ada folder berisi foto-foto gagal yang tidak pernah dihapus? Kalau ada puluhan aplikasi yang tidak pernah dipakai, tapi tetap duduk manis di ponsel? Kita sering tidak menganggap itu sampah.

Padahal, prinsipnya sama: sesuatu yang sudah tidak digunakan, tidak dibutuhkan, tidak memberikan nilai apa pun---itulah sampah. Bedanya, yang satu terlihat, yang satu tersembunyi di balik layar.

Dan justru karena tak terlihat, kita jadi abai. Kita membiarkannya menumpuk, kita membiarkannya membesar, kita menunda membersihkan. Sampah digital mengajarkan satu hal: manusia memang sering lebih takut pada hal-hal yang bisa dilihat mata, tapi lengah pada yang kasat mata.

Kenapa Kita Suka Menyampah Digital?

Ada alasan kenapa kita betah menyimpan begitu banyak file tak berguna. Pertama, rasa takut kehilangan. "Nanti kalau tiba-tiba butuh?" padahal file itu sudah sepuluh tahun tak pernah disentuh. Kedua, karena gampangnya menyimpan. Sekali klik, selesai. Tak perlu repot. Ketiga, rasa "gratis" yang menipu. Cloud terasa tak terbatas, padahal selalu ada batas yang dibayar oleh energi dan listrik.

Kita sering lebih nyaman menunda daripada berhadapan dengan keputusan menghapus. Menghapus artinya melepas, dan melepas bukanlah hal yang mudah bagi manusia. Jadi akhirnya kita biarkan menumpuk, seakan itu tidak masalah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun