Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut (Makroalga) sebagai Karbon Sink

24 Juni 2018   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2018   14:20 1631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : generasibiologi.com

Temuan para pakar lingkungan tadi memberikan pencerahan bagi Indonesia sebagai negara yang berbasis kelautan, untuk berkontribusi dalam pencapaian agenda 21 melalui penurunan emisi karbon berbasis sumberdaya rumput laut (makroalga). Kita tahun, sebagai bagian dari coral triangle, Indonesia memiliki varian sumberdaya rumput laut (makro algae) yang tinggi. Tidak kurang sebanyak 550 jenis makroalgae hidup di perairan Indonesia. 

Dari semua jenis itu, setidaknya ada 5 jenis rumput laut ekonomis tinggi yang telah berhasil dibudidayakan secara massal yakni Eucheuma cottoni/Kappaphycus alvarezy, Gracilaria sp, Caulerpa sp, Halymenia sp, dan Eucheuma spinosum. Keberadaan sumberdaya rumput laut tersebut, bukan hanya memiliki nilai strategis ekonomi, namun akhir-akhir ini berbagai riset telah menemukan fakta, bahwa rumput laut mampu memberikan kontribusi cukup besar terhadap upaya pengurangan emisi karbon.

Tumbuhan adalah faktor utama dalam proses reduksi CO2 melalui proses fotosintesis. Hutan merupakan harapan utama yang mampu mereduksi dan menstabilisasi konsentrasi CO2 di atmosfer.  Akan tetapi faktanya bahwa yang mampu melakukan reduksi CO2 di atmosfer adalah bukan hanya tumbuhan di darat tapi juga tumbuhan di perairan. Data IPCC yang ditulis oleh Muraoka, (2004) memaparkan bahwa lautan mampu menyerap hingga 2 billion ton karbondioksida per tahun.

Data hasil pengukuran serapan karbon di perairan diperoleh menunjukkan bahwa dalam 3,5 ton produksi alga terdapat 2,7 ton karbon (Sinha, 2008). Bahkan Kementrian Lingkungan Jepang telah melaporkan bahwa perairan Jepang dengan rumput laut yang ada didalamnya (Sarggassum, Ecklonia, Seagrass, Laminaria) mampu menyerap CO2 hingga 2,7 juta ton/tahun termasuk dari hasil kegiatan budidaya (Muraoka, 2004). Produksi rumput laut di jepang sendiri adalah 650.000 ton basah/tahun dan yang berasal dari kegiatan budidaya sebesar 530.000 ton basah/tahun, dari jumlah tersebut mampu menyerap karbon sebesar 32.000 ton (Muraoka, 2004).

Pengikatan karbon oleh algae fotoautotrofik berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat membantu mengurangi kecenderungan terjadinya pemanasan global (Kaladharan et al., 2009). Rumput laut atau makroalgae termasuk salah satu vegetasi pantai yang merupakan penyerap karbon yang sangat baik jika dibandingkan dengan tumbuhan terestrial. 

Untuk pertumbuhan dan perkembangannya, rumput laut melakukan proses fotosintesis dengan memanfaatkan CO2 dan energi cahaya yang dikonversi menjadi karbohidrat. Meskipun faktor-faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut tergolong sederhana (nutrien, trace mi- neral, air CO2, dan cahaya matahari) dan relatif sama dengan tumbuhan terestrial, namun kelompok algae ini dapat memanfaatkannya dengan sangat efisien sehingga menghasilkan produktivitas yang tinggi (Packer, 2009).

Aktivitas akuakultur pada skala besar, khususnya untuk spesies rumput laut ekonomis penting, secara global dapat menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfir dan juga menghasilkan biomassa untuk bahan baku industri fikokoloid dari rumput laut (Kaladharan et al., 2009). Oleh karena itu, budidaya rumput laut sangat baik dikembangkan untuk tujuan produksi dan sebagai agen penyerap karbon. Dengan demikian, sektor kelautan dan perikanan juga dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui kegiatan budidaya (culturebased).

Sebuah hasil riset yang dilakukan Pusat Litbang Perikanan Budidaya Tahun 2013 menyebutkan bahwa Pengikatan karbon oleh algae fotoautotrofik berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat membantu mencegah percepatan terjadinya pemanasan global. 

Budidaya rumput laut dilakukan dengan metode long-line di perairan Teluk Gerupuk, Lombok Tengah pada satu unit long-line dengan luas area 1.250 m2 menunjukkan bahwa laju penyerapan karbon total berdasarkan biomassa panen pada Gracillariagigas hampir 300% lebih tinggi dibandingkan Kappaphycusalvarezii. Dari total luas lahan budidaya 322 hektar, potensi penyerapan karbon di perairan Teluk Gerupuk mencapai 6.656,51 ton C/tahun untuk budidaya K. Alvarezii dan 19.339,02 ton C/tahun untuk budidaya G. gigas. Penyerapan karbon berhubungan dengan kandungan pigmen dan laju pertumbuhan rumput laut, serta konsentrasi CO2 dan kecerahan perairan.

Jika merujuk pada hasil riset di atas, saya coba melakukan perhitungan kasar terhadap potensi serapan karbon berbasis biomasa pada  rumput laut yang telah berhasil dibudidayakan yakni Gracilaria sp dan Kappaphycus alvarezy. Sebagai gambaran, total potensi lahan efektif untuk budidaya rumput laut (di tambak dan di laut) mencapai 1.656.000 hektar, maka total potensi serapan karbon mencapai 46,79 juta ton C per tahun. Dari data tersebut menujukkan bahwa tumbuhan seperti rumput laut memungkinkan untuk dijadikan bagian dari upaya Clean Development Mecanism (CDM) sehingga bisa dilibatkan dalam perdagangan karbon (carbon trading) .

Pemanfaatan kemajuan kemajuan bio-technology untuk menyerap gas CO2 dari PLTU misalnya, sangat diperlukan salah satunya dengan pembudidayaan rumput laut (makro alga). Dalam siklus hidupnya, rumput laut memerlukan CO2 untuk melakukan proses fotosintesa. Disisi lain, rumput laut dapat hidup di air dengan kadar garam yang tinggi, dan teknik kultivasinya tidak rumit. Keberadan PLTU di Indonesia yang umumnya berlokasi di pesisir sangat cocok dengan memanfaatkan bio-technology berbasis rumput laut ini.

Sumber rujukan : dari berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun