Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan featured

Makna Sosiologis Budaya Mudik Lebaran

20 Juni 2018   18:32 Diperbarui: 28 April 2022   07:02 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi via uzone.id

Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW  bersabda bahwa "Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi".

Kutipan sabda Rasulullah SAW di atas mengandung makna keutamaan menjaga tali silaturahmi utamanya terhadap saudara/kerabat. Kita tak bisa menapikan bahwa faktanya kultur silaturahmi semakin menurun, bahkan dalam tahap mengkhawatirkan seiring pergantian generasi dan zaman yang berubah kian drastis.

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk membawa putri semata wayang mengunjungi rumah wali kelasnya di suatu perkampungan sekitar 20 km jaraknya dari pusat kota.

Saya masuk gang sempit sebuah kampung sesuai petunjuk yang saya bawa. Karena saya tidak tahu persis rumah beliau sebelumnya, maka saya pun bertanya pada warga yang ada. Entah berapa kepala yang saya temui, namun tak satupun yang tahu nama guru anak saya tersebut, padahal alamatnya jelas yakni di RT yang sama. Pada akhirnya saya cari sendiri, beruntung ada anak muda yang tahu, karena ternyata rumahnya persis bersebelahan.

Ini fenomena nyata. Kalau saja terjadi di kota saya tidak heran, tapi ini justru terjadi pada sebuah kampung dan saya percaya ini adalah bagian kecil kasus yang mungkin anda juga pernah alami.

Dulu di kampung saya, jika ada teman luar kota yang akan berkunjung ke rumah, saya tak perlu kasih alamat rumah terlalu detail. Saya cukup saranin dia untuk tanya nama saya atau bapak saya di gapura masuk ke kota Kecamatan, dijamin dia tahu siapa dan dimana detail rumah saya. Padahal, kalian tahu Kecamatan tersebut sangat luas, bisa lebih 3 kali lipat luas kecamatan di kota kota. Tapi, sayangnya itu dulu.. sekarang jangan harap kalian bisa temukan dengan mudah.

Lantas apa yang terjadi? Nampaknya kita baru sadar bahwa kultur sosial masyarakat telah mengalami pergeseran, jauh meninggalkan sikap peduli dan lambat laun tergantikan dengan sikap "acuh tak acuh" , individualistik. Jika saya menyebutnya dengan sosio-kapitalistik, dimana jikapun ada bentuk perhatian, itu karena ada pertimbangan kepentingan materi dan lainnya. 

Maka, sekarang banyak kita temui, bahwa orang akan dihargai dan disegani karena ukuran kepemilikan materinya bukan figur moralnya yang baik. Bentuk atensi dan penghormatanpun lebih karena "basa basi" dan "ada maunya".

Saya juga temukan fakta, betapa generasi saat ini (orang pinter sebut mereka generasi milenial) telah kehilangan pengetahuan tentang hubungan kekerabatan atau silsilah keluarganya. Orang dikampung saya menyebutnya generasi "pareumeun obor". Yakni masa, dimana generasi yang tak lagi mengenal garis keturunannya. 

Masa ini, demikian dikhawatirkan terjadi, sehingga tak heran saya selalu diwanti wanti orang tua terdahulu untuk tidak memutus rantai silaturahmi sehingga obor (sumber cahaya dari nyala api) itu tetap menyala.

Istilah "Pareumeun obor" memiliki pesan kuat agar   tak tersesat karena lupa asal asul kita. Artinya bagaimana hubungan kekerabatan yang terus terjalin akan menjadi pelita dalam setiap langkah dalam menjalani kehidupan. Saya akan tahu jati diri saya, jika saya tahu darimana asal saya dan siapa keturunan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun