Mohon tunggu...
Kang Chons
Kang Chons Mohon Tunggu... Penulis - Seorang perencana dan penulis

Seorang Perencana, Penulis lepas, Pemerhati masalah lingkungan hidup, sosial - budaya, dan Sumber Daya Alam

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membangun Akuakultur yang Bertanggung Jawab

15 Mei 2018   19:21 Diperbarui: 16 Mei 2018   20:52 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Misalnya saja, saat ini yang tengah menjadi trending topic adalah penerapan teknologi supra intensif dengan mengandalkan high density melalui rekayasa lingkungan dan telah menghasilkan produktivitas yang  mencengangkan > 150 ton/ha, dan konon merupakan teknologi yang menghasilkan produktifitas tertinggi di dunia. Sontak kita dibuat tercengang sekaligus terbesit perasaan bangga, sehingga teknologi ini telah banyak diadopsi di berbagai daerah. 

Namun pertanyaannya kemudian muncul, sudahkah sebelumnya dikaji daya dukung lingkungannya? Sudahkan dikaji terkait efektifitas pengelolaan limbahnya? Akumulasi limbah pakan dikhawatirkan dalam jangka waktu lama akan melampaui daya tampung lingkungan, sehingga imbasnya akan berdampak negatif terhadap jalannya siklus yang membangun sebuah ekosistem. Kesimpulannya, sudahkan teknologi ini dikaji status keberlanjutannya?

Fenomena penyakit WFD (White Feces Desease) yang akhir-akhir ini dihadapi para pelaku budidaya udang patut diyakini bahwa muara yang menyebabkan terjadinya masalah tersebut adalah terputusnya mata rantai siklus yang membangun sebuah ekosistem akibat terabaikannya aspek ekologis dalam pengelolaan budidaya. 

Oleh karena itu, kita jangan terjebak hanya pada upaya penanggulangan penyakitnya saja, tapi lebih dari itu harus lebih didorong pada upaya preventif dengan melakukan pengelolaan budidaya yang lebih bertanggungjawab.

Ada hal menarik,  justru beberapa negara-negara di dunia khususnya di Uni Eropa mulai menggeser paradigma pengelolaan akuakultur dari berbasis modernisasi teknologi kepada akuakultur yang berbasis ekosistem. Penerapan IMTA (integrated Multi Trophic Aquaculture) dan pengelolaan yang berbasis ekosistem lainnya, sudah semestinya di dorong mulai saat ini. 

Pemetaan daya dukung lahan pada sentral produksi dan kawasan potensial menjadi sesuatu yang mutlak untuk segera dilakukan, sehingga akan memberikan acuan rekomendasi bagi pengelolaan akuakultur dan tingkatan teknologi yang dapat diterapkan.

Ketiga, proses domestikasi (domestication). Dalam dunia akuakultur, proses domestikasi suatu spesies merupakan hal lumrah dan diperlukan. Seiring perkembangan rekayasa teknologi akuakultur yang sudah sedemikian maju,  domestikasi telah memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi akuakultur saat ini.

Sebagaimana yang disampaikan IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) bahwa dalam konteks dimensi lingkungan, maka maka perlu ada semacam guidelines terkait kegiatan domestikasi dimaksud, yaitu : (a) Selective breeding harus didorong sebagai upaya dalam menghasilkan spesies yang unggul, namun demikian harus dirancang dalam  meminimalisir potensi dampak terhadap biodiversity; (b) sistem budidaya harus dirancang sebagai upaya mengurangi pelepasan spesies hasil rekayasa genetik ke alam liar; (c) pembuatan bank gen dari spesies ikan liar harus didorong sebagai tempat sumber genetik.

Keempat, pakan (feed). Permasalahan pakan seolah tidak ada habisnya, bayangkan lebih dari 60% dari total cost produksi dikelluarkan untuk biaya pakan. Isu pakan juga menjadi isu strategis sebagai permasalahan utama dalam bisnis akuakultur global. Bukan hanya karena merupakan bagian terbesar penyusun cost produksi, namun disisi lain dalam konteks lingkungan, ternyata pakan berpotensi cukup besar dalam memberikan kontribusi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini.

Bahan baku pakan khususnya high protein masih mengandalkan pada tepung ikan yang didapatkan dari hasil tangkapan ikan laut non ekonomis. Kondisi ini tentunya sangat bertentangan dengan upaya mewujudkan food security, terlebih raw material pakan dihasilkan dengan cara-cara yang tidak sustainableyang justru mengancam biodiversity. 

Pemilihan alternatif subsitusi tepung ikan dengan tepung nabaati misalnya, yang diberikan untuk komoditas ikan karnivora masih terbentur pada efektifitas dan efesiensi nilai kecernaan. Hasil kajian menyebutkan bahwa tepung nabati mengandung anti nutrisi yang justru tidak efektif dan menjadi faktor penghambat untuk pertumbuhan spesies ikan karnivora.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun