Istriku duduk di ruangan TV. Matanya tidak pernah lepas dari layar TV. Bola matanya berputar mengikuti pergerakan layar TV. Setiap malam kebiasaannya begitu. Bercengkerama dengan TV sebelum dewi malam datang menghampiri. Maklum di SCTV ada 'Samudra Cinta'. Sinetron dua anak muda yang sangat baik dan inspiratif.Â
Tiba-tiba lampu mati. Aku lagi menemani Asaichi, putri kami yang kini berusia 3 bulan. Sejak siang tadi ia demam karena baru imunisasi.Â
Istriku berteriak, "Pak lampunya mati."
"Ya ma, aku tau. Aku sudah beli pulsanya tadi. Silahkan diisi."
Istriku mengambil nomor tokennya dan mengisinya pada meteran. Lampu menyala lagi.
Di langit tak ada bulan. Adiknya juga tidak ada. Tidak tau pada ke mana. Mungkin disebunyikan awan yang sedang menggil kedingainan.
Tiba-tiba hujan.Â
Anakku terjaga mendengar air hujan berjatuhan di genteng gubuk kami. Matanya berbinar. Inginnya dia menangis. Aku mendekatinya dan berbisik, "di luar hujan. Mari kita tidur."
Mamanya yang asyik menonton juga beranjak tidur. Rupanya sinetron kesayangannya sudah pada bersambung. "Pa, hujan." Sahut istriku. "Ya ma. Belum berhenti?"Gumamku. "Belum Pa," istriku melanjutkan. "Memang lagi musimnya, Ma. Kita tidak berkuasa untuk menghentikannya," sahutku.
Hujan. Tidak berhenti. Semakin deras dan deras sehingga airnya masuk pada lubang genteng dan membasahi kelambuk.
Gubukku kontrakan. Lumayan, setengah dari pendapatanku dikucurkan untuknya. Nasib anak rantau. Kalau tidak mau sengsara jangan merantau.Â