Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi 2] Fanatisme Menggores Luka

15 Juli 2018   05:43 Diperbarui: 15 Juli 2018   08:01 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi pertama di rumah utama. Rumah kenangannya, rumah masa kecilnya. Rumah yang menjadi saksi cinta kasih Tuan Effendi untuk Calvin.

Akhirnya, Calvin kembali lagi ke sini. Bahagia? Tentu saja. Siapa yang tak bahagia bila diberi kesempatan pulang kembali ke rumah masa kecilnya. Sedih? Sudah jelas. Sedih karena ia kembali ke rumah ini dalam keadaan berbeda. Kesepian? Itu keniscayaan. Di rumah ini, tak ada lagi Tuan Effendi yang menyambutnya dengan senyum hangat dan sikap fatherly. Tak ada lagi Adica yang akan memeluknya dan menepuk pelan punggungnya selayaknya saudara kandung saja.

Enam asisten rumah tangga, tiga supir pribadi, dan satu tukang kebun yang bekerja di rumah itu tak kalah antusias. Setahun ini mereka hanya tinggal dan membersihkan rumah yang begitu besar. Seolah kegiatan mereka tak berguna. Bagaimana mau berguna, bukankah rumah sebesar mausoleum ini tak berpenghuni?

"Pagi Tuan," sapa seorang asisten rumah tangga berwajah ramah.

Calvin tersenyum, membalas sapaannya. Sejak pukul lima ia sudah turun dari kamarnya. Melihat-lihat lagi rumah masa kecilnya untuk kali kedua.

"Tuan mau sarapan? Saya buatkan ya. Obat-obatannya juga sudah disiapkan."

"Tidak usah, nanti saja. Ada yang harus saya lakukan."

Setelah menolak halus tawaran asistennya, Calvin bergegas ke halaman depan. Ia berpapasan dengan tukang kebun yang tengah sibuk memotong rumput.

"Pagi ini, boleh saya yang gantikan? Sekalian saya mau merawat bunga lagi," pinta Calvin sopan.

Lelaki tua bertopi lebar itu tergeragap. Sudah lama tak mendengar sikap santun dan keramahan tuan mudanya. Beruntungnya bekerja di rumah Calvin. Diperlakukan sangat baik, digaji dengan cukup memuaskan. Belum lagi bonus-bonusnya. Calvin tergolong royal dengan semua pekerjanya.

"Maaf, apa tidak sebaiknya Tuan istirahat saja? Kan semalam baru sampai. Tuan juga sedang sakit..." kata si tukang kebun penuh perhatian.

"Saya malah tambah sakit kalau istirahat terus." balas Calvin tenang.

Tak ada pilihan lain bagi si tukang kebun kecuali membiarkan tuan mudanya memotong rumput dan merawat bunga-bunga. Perlahan dia melangkah mundur, berbalik kembali ke kamarnya di belakang rumah.

Sementara itu, Calvin menyelesaikan pekerjaan memotong rumput yang tinggal sedikit lagi. Setelahnya ia langkahkan kakinya ke taman bunga yang berdekatan dengan air mancur.

Halaman rumah Calvin sangat luas. Baik halaman depan maupun belakang sama luasnya. Dulu, jalan setapaklah yang membatasi antara halaman depan dan belakang. Kini pembatasnya diganti dengan jembatan kayu dengan kolam ikan di kanan-kirinya. Sebelum pindah ke sini, Calvin sengaja meminta rumah utamanya direnovasi beberapa bagian. Ddemi menghilangkan kesedihannya karena terlarut dalam kenangan.

Asyik menyirami bunga lily, canna stripped beauty, aster, dan peperomia, Calvin dikagetkan oleh sesuatu yang ganjil. Sekilas pandangannya tertumbuk pada kutu-kutu putih yang menempel pada bunga-bunga mawarnya. Ternyata salah satu tanaman bunganya terkena penyakit. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan.

Blogger dan pengusaha retail itu berpikir sejenak. Mengingat-ingat lagi cara mengobati mawar yang terkena kutu putih. Bahkan ia letakkan penyiram bunganya dan berjalan ke depan air mancur. Calvin berpikir sambil mengulurkan tangannya ke bawah air mancur, merasakan kesejukan air menari-nari membasahi telapaknya.

"Eurekka!" serunya beberapa menit kemudian. Ia teringat sesuatu.

Cepat-cepat pria atletis itu ke pantry. Diambilnya air bekas cucian piring. Kembali lagi ke taman bunga, diberikannya air hasil bilasan terakhir itu untuk mawar-mawarnya. Wanita mana pun akan meleleh melihat Calvin saat ini. Calvin yang dikenal sebagai pengusaha sukses, selain penyayang anak-anak, ternyata juga mencintai keindahan. Pria yang suka merawat bunga, memiliki hati lembut dan kepedulian tinggi. Pada bunga saja ia bisa bertanggung jawab dan merawatnya dengan baik. Bagaimana pada wanita yang dicintainya?

Calvin sedikit membungkukkan tubuhnya untuk memberikan obat dan memeriksa kutu-kutu putih. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Tujuh detik. Sembilan detik, tetesan darah terjatuh ke atas kelopak bunga cantik itu. Refleks Calvin menyeka hidungnya. Darah terus menetes.

"Ya Tuhan, jangan sekarang..." lirihnya. Wajah tampannya berubah pias.

Tubuh tinggi itu nyaris limbung. Sakit menghantam punggung dan perut bagian bawahnya tanpa kompromi. Sakit ini hadir lagi saat Calvin benar-benar sendirian.

Namun, benarkah dia hanya sendiri?

Sepasang tangan halus memeluk pinggangnya. Jemari lentik mengusap lembut darahnya. Jemari cantik, putih bersih, berhiaskan cincin berlian mahal.

"Calvin, kamu tak apa-apa?"

**     

Ku dilema, ku berada

Antara dua cinta

Cinta lama dan cinta yang kini ada

Haruskah ku mengakhiri

Relakan satu hati

Karena ku tak bisa

Berbagi ke dua cinta (Calvin Jeremy-Dua Cinta).

**     

Seolah ini telah lama direncanakan. Seakan telah diatur dengan sangat baik. Pandangan mereka bertemu. Dua hati berdeburan tak menentu. Calvin Wan dan Dinda Pratiwi, bertemu lagi.

Hijab putih tersingkap. Memperlihatkan rambut panjang hitam yang terurai indah. Bagai terlempar dalam deja vu, Calvin seperti melihat sosok Dinda yang dulu. Dinda, perawat para lansia terlantar di panti jompo itu. Bukannya seorang istri dari suami fanatik yang keterlaluan.

"Sorry, aku pasti membuatmu bingung." desah Dinda. Pelan melipat kain sutra putih nan lembut itu, memasukkannya ke dalam tas.

"Aku tidak tahu, dimana lagi tempat yang aman. Tempat untuk menghindar dari amukan suamiku."

"Apa yang terjadi, Dinda?"

Sedetik kemudian, Calvin menyesali dirinya sendiri. Pertanyaan bodoh, pikirnya. Sekali pandang saja, semua orang tahu jika pernikahan Dinda tak bahagia. Lingkaran-lingkaran hitam di matanya, cekungan dalam di kedua pipi, bekas-bekas luka di seluruh tubuh, beberapa luka baru yang masih berdarah, bekas goresan pisau di jari tangan, dan serangkaian tanda-tanda penganiayaan lainnya sudah menisbikan cerita.

"I feel sorry for you..." ujar Calvin sedih.

Dinda tertunduk dalam. Sementara Calvin merangkulnya hangat. Tak tega membiarkan wanita secantik itu bersedih sendirian.

"Sejak awal, pernikahanku memang tidak bahagia. Mas Cinta berkeras menjodohkanku dengan Reno Prasetyo Heryana, pengusaha biro perjalanan berdarah Jawa-Sunda itu. Padahal sudah kutolak berulang kali. Tapi...waktu itu, kau tahu kan? Mas Cinta masih membencimu. Baginya, Reno yang lebih baik untukku. Sekarang aku harus menerima kenyataan..."

"Apa saja yang telah dilakukannya padamu, Dinda?" Nada suara Calvin begitu mendesak saat menanyakannya.

"Dia berkeras menginginkanku berhenti menjadi perawat. Dalam pandangannya, wanita bekerja itu haram. Tempatnya wanita ya di rumah. Dia juga memaksaku berhijab. Sudah kuturuti, walau terpaksa. Dia juga membawaku ikut pengajian-pengajian aneh yang diadakannya di rumah peristirahatan kami. Kau tahu kan, aku tidak suka acara seperti itu? Aku senang belajar agama, tapi dengan caraku sendiri. Aku hanya ingin belajar agama secara mandiri, bukannya mengikuti kajian keislaman yang penuh doktrinasi. Terakhir dia menyuruhku bercadar. Tapi aku tak mau. Inilah hasilnya."

Dinda menunjukkan luka-lukanya. Air mata meleleh, membasahi pipi.

"Laa haula wala quwata illa billah." Calvin memejamkan mata, tak menyangka derita wanita pelukis masa lalunya seberat itu.

"Aku tak kuat lagi, Calvin. Pernikahan ini membuatku tersiksa. Reno melarangku mengadu pada Mas Cinta. Dia mengancam, aku akan disiksa lebih kejam lagi kalau aku tetap mengadu. Demi Allah, kau seratus kali lipat lebih baik dari dia, Calvin." Dinda terisak.

Dalam gerakan slow motion, Calvin memeluk Dinda. Keduanya berpelukan di bawah langit biru bersih, kilau keperakan air mancur, dan hamparan bunga. Pelukan mereka begitu erat, seakan tak ingin saling melepaskan lagi untuk selamanya.

Wanita di pelukannya begitu rapuh. Calvin tahu itu. Wanita ini begitu cantik, namun teramat rapuh dan terlanjur mengalami luka-luka dalam. Berbeda dengan Syifa, Dinda memiliki sisi kerapuhan yang terlihat jelas. Ia tak repot-repot menyembunyikannya. Tanpa sadar, Calvin membandingkan Dinda dengan Syifa.

"Bukan hanya itu," kata Dinda tetiba, nadanya putus asa.

"Reno juga tipe suami yang rasis. Dia sering membandingkanku dengan wanita yang disebutnya...maaf, Pribumi. Aku juga tidak tahu mengapa bisa begitu. Stereotip itu kejam, Calvin."

Naasnya Dinda menikah dengan pria fanatik dan rasis. Menganggap diri Pribumi, warga asli suatu bangsa, dan menganggap orang lain yang memiliki darah campuran dengan etnis lain, sebagai Non-Pribumi. Lalu melekatkan stereotip seenaknya.

"Sabar ya...aku akan membantumu." janji Calvin penuh kesungguhan.

Belum sempat Dinda menanggapi, terdengar deru mobil disusul sebuah sedan berwarna grey menepi di depan gerbang. Pemiliknya turun dari mobil. Melangkah gagah namun penuh amarah memasuki halaman.

"Ternyata kamu di sini?! Oh...bagus ya, bersama rival bisnisku yang baru! Bagus sekali, Dinda!"

Lelaki hitam dan bertubuh lebih besar dari Calvin itu, bertepuk tangan. Ia sama sekali tidak tampan. Kontras dengan Calvin yang berkulit putih dan berwajah oriental nan memikat. Ia tak lain Reno, lelaki yang menggoreskan luka pada Dinda hanya karena fanatismenya.

"Beginikah kelakuan istri salihah? Atau kau sudah berubah pikiran dan lebih memilih berzina?! Keterlaluan! Bukannya mendukung suamimu yang baru saja mencoba lini bisnis baru, sekarang kau malah berduaan dengan..."

"Cukup, Reno! Jangan sakiti Dinda lagi!" sela Calvin, tajam dan tegas.

Senyum sinis bermain di wajah lelaki yang rawan mengalami persona non grata-tidak disukai-itu. Ia sama sekali tidak bodoh. Bahkan Reno tahu kisah cinta Dinda dan Calvin setahun lalu.

"Mau mengulang sejarah lagi, Calvin Wan? Mau jadi perebut istri orang? Kaubuat sepupu dan adik angkatmu mati karena kaurebut istrinya!"

Tubuh Calvin serasa membeku. Tidak, sungguh tidak benar. Calvin bukan penyebab kematian Adica. Kenangan buruk berkejaran di memorinya. Adica salah paham. Kematian lagi. Silvi yang terus menyalahkan. Ini sangat, sangat menyakitkan. Ketika Calvin lengah...

Plak!

Tamparan demi tamparan menghujam pipi dan wajahnya. Calvin nyaris jatuh. Tanpa sadar ia lepas pelukan Dinda.

Lagi, ia tak bisa mencegah sosok yang dicintainya pergi dan terpedaya. Secepat kedatangannya, secepat itu pula Reno pergi membawa Dinda. Membawa lari wanita pelukis masa lalunya.

Hati kecil Calvin meneriakkan ketidakrelaan. Tidak, ia tidak bisa diam saja membiarkan semua kekejaman ini. Fanatisme telah banyak menggoreskan luka. Mula-mula api fanatisme melukai Dinda. Kini melukai Calvin. Pantaskah fanatisme dibiarkan begitu saja?

**      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun