Mohon tunggu...
latifah aulia
latifah aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa Aktif Universitas Airlangga

Saya merupakan mahasiswa aktif Universitas Airlangga jurusan Ilmu Politik. Kegemaran saya dalam bidang politik membuat saya tertarik kepada jurusan Ilmu Politik dan bertekad untuk memperdalamnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pembatasan Kebebasan Berekspresi Harus Didukung untuk Ketertiban Demokrasi

6 Agustus 2025   05:26 Diperbarui: 6 Agustus 2025   05:26 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketimpangan yang terjadi dalam realitas dinamika demokrasi Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Setiap lapisan masyarakat memiliki pendapat atau argumen masing-masing yang menguatkan posisi mereka sendiri. Dalam mosi ini, pemerintah sebagai pihak yang mengeluarkan kebijakan memberikan 3 argumen utama, yakni pertama, pembatasan yang dilakukan bukan dalam bentuk kritik membangun, tetapi dalam bentuk hinaan dan serangan personal terhadap pemerintah. Kedua, minimnya literasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kebijakan dan langsung menyebarkannya tanpa pengkajian lebih dalam sehingga membuat masyarakat lain panik dan ikut memiliki persepsi yang sama. Ketiga, berkaitan dengan tuntutan masyarakat terkait berkas kebijakan yang tidak secara lengkap diberikan secara langsung kepada masyarakat, pemerintah ingin menekankan bahwasanya pemberian berkas kebijakan secara lengkap sudah pasti dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat. Namun, perlu beberapa waktu untuk menyelesaikan dan mematangkan berkas kebijakan tersebut sehingga tidak menimbulkan salah persepsi di masyarakat. 

Dalam menanggapi argumen yang dibawa oleh pemerintah, tim mahasiswa sebagai tim kontra memberikan argumen kritis, yakni bahwa demonstrasi dan penolakan kebijakan terjadi bukan karena minimnya literasi atau segala faktor yang dituduhkan pemerintah, melainkan karena pemerintah sendiri yang menyulut api kemarahan masyarakat dengan memberikan kebijakan yang sewenang-wenang dan tidak pernah melibatkan rakyat. Selain itu, dalam setiap demonstrasi yang seharusnya dilakukan tanpa kekerasan dan senjata tajam, tetapi dalam realitanya saat demonstrasi banyak sekali aparat keamanan yang berjaga menggunakan senjata tajam dan seringkali melukai para mahasiswa dan masyarakat yang sedang melakukan demonstrasi. Terakhir, mahasiswa berpendapat bahwasanya pemerintah memang tidak pernah berada di pihak rakyat dan terus menyengsarakan rakyat dengan kebijakan mencekik yang dikeluarkan.

Sebagai tim penengah, pengamat kebijakan memberikan argumen bahwasanya pembatasan berekspresi seharusnya tidak dilakukan karena hal tersebut melanggar hak masyarakat. Kebebasan berekspresi harus tetap dibiarkan, tetapi mereka juga setuju untuk memberikan batasan terhadap hinaan, ujaran kebencian dan serangan personal kepada pemerintah tanpa adanya kritik membangun. Tim pengamat kebijakan memberikan saran kepada tim pemerintah untuk lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas agar tidak terjadi kesalahan persepsi di masyarakat. Sedangkan pada tim mahasiswa, pengamat kebijakan memberikan saran untuk tidak melakukan hinaan dan serangan personal kepada pemerintah, melainkan kritik yang membangun dan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah.

Mengamati hasil diskusi dan argumen yang terjadi, adakalanya pembatasan berekspresi justru lebih baik dan lebih efektif. Bukan karena takut pemerintah dihina, tetapi untuk menanamkan moral sejak dini kepada masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa untuk tidak menggiring opini, memberikan ujaran kebencian dan serangan personal. Namun, perlu digarisbawahi, pembatasan yang berlaku hanya bagi ujaran kebencian dan hoax yang membahayakan masyarakat. Tetapi, jika diberlakukan pembatasan, hak masyarakat secara tidak langsung sudah dipotong sehingga mereka kesulitan untuk mengungkapkan apa yang mereka inginkan kepada pemerintah. 

Masalah utama yang terjadi pada mosi ini adalah gap. Gap yang tinggi antara persepsi masyarakat dan pemerintah membuat kesalahan persepsi yang mengakibatkan terpecahnya pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukannya sinergi bersama untuk membuat dan mengawasi kebijakan yang dikeluarkan. Jika pemerintah dapat merangkul rakyat dan rakyat mau mendengarkan usulan program atau penjelasan dari pemerintah, maka demokrasi Indonesia akan segera sembuh dari penyakit yang dialaminya selama ini, yakni terpecah belahnya masyarakat Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun