Kembali malam ini aku menatap layar laptopku. Â Sambil mengisi template pertanyaan blangko yang diinginkan sebuah keabsahan status pendidikan. Â Diiringi dengkur suami dan jagoan kecilku. Â Tak ada beban sama sekali bagiku ketika harus masih terbangun di sepertiga malam seperti ini.Â
Aku sudah terbiasa menikmati heningnya malam bersama laptopku. Â Karena setelah jam kerja waktuku hanya untuk bermain dengan si kecil sambil mengurus rumah. Tidak mudah memang menjadi ibu rumah tangga yang juga bekerja. Â Tapi bukan beba sama sekali. Â Suamiku mengerti bahwa bermanfaat bagi orang banyak itu adalah hal yang mulia. Â Beserta konsekuensinya dia paham. Â Dan aku paham membagi waktu itu adalah hal yang harus aku jalani.Â
Kembali ke layar laptopku, Â jari jemariku menari-nari keyboard. Lancar sekali ku turahkan pikiranku. Detik demi detik berjalan, sudah hampir tiga jam berlalu. Â Sampailah ku pada titik jenuh.Â
Ku berbaring sejenak dan teringat setiap rasa sakit yang kurasa bahkan bukan aku tapi kami. Kami teman seangkatan ketika kuliah dulu. Â Sakit karena keabsahan status pendidikan kami berada di level yang tak bisa membuat kami ikut berkompetisi dalam dunia pekerjaan. Â
Setiap tahun diadakan tes pegawai negeri, Â kami selalu gagal berkas. Â Ya kami masih di daerah dengan pemikiran orangtua yang ingin anaknya jadi pegawai negeri sangat tinggi sekali. Â Hingga ku putuskan untuk lanjut pendidikan.Â
Setiap bulannya kami seangkatan selalu berkumpul untuk berbagi suka dan dan suka, serta menyambung silahturahmi.Â
Dan dalam 3 tahun terakhir setiap bulannya aku mendengar masalah gagal berkas  karena level pendidikan kami itu tidk sesuai untuk berkompetisi.  Sakit sekli rasanya.  Benar-benar sakit..  Dan rasa sakit sedikit berkurang ketika aturan mengenai level di hapuskan. Rasa bahagia untuk tidak mendengar keluhan bulanan itu sungguh lah nyata.Â
Tiba lah sekarang saatnya aku diizinkan Tuhan untuk memperjuangkan ke absahan itu. Lika liku sangat kurasakan. Â Ternyata tidak mudah. Â Tapi tetap yakin dan ikhtiar aku mampu membuat anak-anak didik ku tidak merasakan yang kami rasakan.Â
Ketika jenuh ku datang kadang sampai ingin menyerah. Â Wajah-wajah mereka menguatkanku. Menangis ketika pikiranku stagnan. Menangis dalam hati ketika ada hambatan dan konflik dalam berjuang. Â
Ingin kuteriaki ketika segelintir orang menyepelekan hal ini. Â
"Hey otakmu tak sampai ke sana atau emng sudah tak punya hati"