Pernahkah anda mendengar ada ungkapan “ Mlakune koyo macan luwe ?”
Ya benar, memang itu ungkapan dalam bahasa Jawa yang artinya “Berjalan bagai Macan Lapar”. Luwe (bhs jawa) = lapar (perut sedang lapar)
Itulah kira kira yang terlontar dari bibir orang jawa ketika melihat ada wanita yang berjalan lemah gemulai. Pada kenyataannya memang demikian, bahwa seekor macan bila sedang berjalan, tentu dengan perlahan lahan , apalagi dia sedang dalam keadaan lapar.
Tapi jangan salah, biar keliatannya lemah, tetap saja dia adalah seekor macan. Jangan sekali kali mencoba mengusiknya, si Macan bisa mendadak berubah menjadi berani dan bergerak secepat kilat. Bila sang macan sudah marah, dia akan menjadi kalap, tak terkendali dan tak peduli dengan apapun dan siapapun.
Kemanapun mangsanya berlari, dia akan mengejarnya. Bahkan bila musuhnya bersembunyi, dengan tidak mengenal tempat dan waktu, dia akan menunggu sampai musuhnya keluar dari persembunyiannya. Sekali waktu musuh keluar, sang macam akan langsung menyergapnya dan tau sendiri apa akibatnya.
Ungkapan ‘Macan Luwe’ bukanlah hal baru. Ini sudah popular dari mulut ke mulut dikalangan orang Jawa sejak jaman kuno (dulu kala), khususnya di kota Solo yang terkenal dengan putri Solo, yang cantik dan halus perilakunya.
Karena sejak lama istilah “Macan Luwe” selalu di gunakan oleh orang orang asli Solo dan sekitarnya, sehingga melekat kuat, mengkristal dalam perangai mereka, dan sepertinya alam pun merekam dan seolah olah rakyat Solo ini benar benar berada di ‘negeri macan luwe”.
Mengapa bisa disimpulkan demikian ?
Ada banyak peristiwa yang bisa dipandang sebagai ‘lembaran hitam’ masyarakat solo dalam hubungannya dengan issue Hak Azasi Manusia (HAM) dan kemanusiaan, keamanan , ketentraman masyarakat, politik, kriminalitas, SARA sampai ke terorisme, yang mana sebagai bukti bahwa masyarakat solo, dari waktu ke waktu sebagai penjelmaan ‘Macan Luwe’.
Saya akan mengajak anda memutar ulang beberapa peristiwa di masa lalu hingga sekarang, yang pernah dan sedang terjadi di kota Solo.
Tapi ini bukan berarti saya ingin membuka luka luka lama (apalagi saya juga putri Solo), tapi ini semua harus kita ambil hikmah dan pelajaran bagi kita semua, dan menjadi peringatan kepada semua pihak, jangan pernah ‘main-main’ dengan ‘Macan Luwe’ dan atau memandang sebelah mata (remeh) masyarakat kota Solo.