Mohon tunggu...
Laron Arifah
Laron Arifah Mohon Tunggu... Guru di daerah pelosok negeri

Seorang putri kampung yang berhasil menempuh pendidikan... memiliki beragam pikiran-pikiran unik untuk dituangkan. Feel free to discuss!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Katanya Agama, Ternyata Trauma

15 Februari 2025   23:39 Diperbarui: 16 Februari 2025   22:09 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dari situs kabaraktual

Ketika kita dapat trauma, ada dua jenis simtom yang terbentuk. Satu, kondisi ketika kita mengobsesikan sesuatu/seseorang di luar diri kita. Dan kedua, kondisi ketika kita membenci habis sesuatu/seseorang di luar diri kita. Seseorang mengidolakan artis k-pop, saking idolanya, kamar, tas, laptop, semuanya dihiasi oleh gambar2 artis tersebut. Tiada pembicaraan yg menggugah matanya selain artis k-pop, ini bentuk trauma pertama. Tubuh Seorang anak perempuan bergetar ketakutan saat melihat pintu kamarnya. Diketahui ia pernah diperkosa paman sendiri sewaktu umur 7 tahun di kamarnya. Pintu kamar mengingatkannya pada seorang paman yang sangat ia benci. Ini bentuk trauma kedua. Yang pertama seseorang mengkultuskan seseorang dan yang kedua sebaliknya seseorang membenci; menolak seseorang.Simtom trauma pertama disebut dinamika positif, dan simtom trauma yang kedua disebut dinamika negatif.
Pada dunia ahlussunnah, seorang muslim saking mengidolakan para ulama2 terdahulu, pintu ijtihad sampai betul2 tertutup. Seseorang membaca kitab fiqih dari Imam Maliki, ketika ada fiqih yang sulit dan tidak adaptif, kita lalu bertanya, "why fiqih-nya seperti ini?" Jawaban yang sering didapat ialah, "jangan bertanya, begitu memang!" Seseorang habis baca buku Ihya Imam Ghazali, ada satu penjelasan yang menurutnya tidak logis mengenai kondisi perjalanan di satu maqom tertentu. "Kenapa begini? Apa penjelasannya?" Sering dijawab juga, "sudah terima saja, ndak boleh bertanya dalam tasawwuf!" Begitu pula apalagi di dunia kalam dan hadis. Dalam beberapa kondisi, jawaban tersebut dilanjutkan dengan menyebut2-kan kualitas kesholehan para tokoh, berharap para umat tidak lagi lebih lanjut bertanya.

Toxic! Orang bodoh yang memakai agama tuk menutupi kebodohannya. Kebodohan yang berlandaskan trauma. Orang2 ini, mengalami simtom trauma dinamika positif, mengkultuskan para tokoh2 terdahulu, menutup pintu ijtihad dan membuat umat muslim stuck, tidak bergerak lebih baik ke arah-Nya. Umat2 muslim yang bahkan merasa dosa tuk sekadar memikirkan, "saya bisa lebih baik dari Imam Ghazali, kondisi kedekatan saya dengan-Nya bisa lebih baik dari Imam Syafii dan Imam Maliki." Umat2 islam sekarang menahan dirinya tuk melampaui generasi2 sebelumnya. Semua bermula dari kultus ini. Ketika di padang mahsyar ditanya kenapa kalian stuck seperti ini, mereka lalu mengatasnamakan hadis di hadapan Tuhan yang berbunyi, "generasi terdahulu adalah generasi terbaik," Guo*lok.

Trauma positif muncul sebagai hasil dari bagian positif diri kita yang ditolak. Seorang anak kecil yang sedang dalam perkembangan kemampuan psikomotorik (gerak tubuh & mobilitas) suatu saat dimarahi ibu karena panjat pohon. Si anak lalu dilema, harus memilih di antara kasih sayang ibu, atau ekspresi potensi psikomotoriknya (panjat pohon). Akhirnya demi kasih sayang ibunya; agar ibunya tidak memarahinya, dia tidak pernah lagi panjat pohon; potensi psikomotoriknya ia tolak & tekan ke alam bawah sadar. Seiring waktu semakin anak itu besar tiba2 saja seluruh dunianya penuh dengan atlet atlet hebat. Tiap  acara olahraga di youtube akan ditonton si anak berjam-jam. Kamar anak itu dipenuhi dengan gambar atlet-atlet internasional hebat. Ia obsess dengan olahraga! Saat ditanya mau jadi apa ia, si anak hanya berkata, "mau jadi akuntan, biar kaya kerja di perusahaan ..." Traumanya menjelma obsesi terhadap para atlit.

Banyak anak-anak masuk pesantren disambut dengan trauma-trauma positif ini. Ketika dia mengenal tokoh-tokoh hebat dalam sejarah islam, bagai Nabi saja rasanya mereka semua. Kualitas-kualitas kesholehan seperti sempurna sekali, tiada cacat dan kurang. Generasi terdahulu tidak boleh dipertanyakan dan tidak boleh digugat. Dn ini Berhujung pada kultus. Tiada terpikirkan oleh para murid pesantren itu bahwa mereka bisa jadi lebih baik dari para tokoh generasi awal. Lebih baik dari Al-Ghazali, dari Jalaluddin Rumi, dari Imam Syafii. Membuat karya-karya yang lebih tinggi dari Ihya Ulumuddin, Futhuhat Makiyyah atau kitab2 Fiqih 4 Imam Mazhab. Potensi mereka untuk kesana mereka tekan & tolak. Tekan dan tolak dengan kultus ... Pesantren telah melakukan kezaliman; penindasan pada modal utama mencapai Tuhan yang ada pada para murid: spiritual-rasionalitas. Jelas saja tiada lagi tokoh-tokoh besar lahir melampaui tokoh2 pendahulu karena hal ini.

Jika pun ada tokoh-tokoh yang melebihi para generasi terdahulu, membuat versi pemaknaan sendiri akan islam, selalu saja ia disebut sesat. Jamaah An-Nadzir dengan Kiai Syamsuri Abdul Madjid sebagai tokohnya adalah salah satu diantara contohnya. Pantas. Dan pantas pula para wali-wali suci bersembunyi dari masyarakat. Dengan bersembunyi, mereka dengan pemahannya yang melangit masih bisa bersosial secara biasa & tidak dikatai sesat.

Sungguh sangat menyebalkan ...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun