Mohon tunggu...
Lanjar Wahyudi
Lanjar Wahyudi Mohon Tunggu... Human Resources - Pemerhati SDM

Menulis itu mengalirkan gagasan untuk berbagi, itu saja. Email: lanjar.w77@gmail.com 081328214756

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Frasa "Lockdown" Legitimasi untuk Berprasangka

30 Maret 2020   23:31 Diperbarui: 31 Maret 2020   06:33 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang yang memiliki prasangka hidup dalam dunia maya yang ia ciptakan dalam pikirannya sebagai dunia yang dipenuhi dengan rasa takut, cemas dan amarah yang tidak perlu.

Suka atau tidak suka, akhirnya saat ini kita masyarakat Indonesia harus menghadapi pandemi Covid-19 yang sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bangsa. 

Di saat kita sedang berusaha untuk mematuhi semua protocol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, tiba-tiba virus kepanikan menyerang psikis masyarakat. 

Bukan masalah panic buying karena  panic buying hanya berjalan seminggu diawal pengumuman Presiden bahwa ditemukan warga negara yang positif terinfeksi Covid-19 dan itupun sebagian besar hanya terjadi di kota-kota besar terutama di Jakarta dan sekitarnya. 

Virus kepanikan yang saya maksud adalah perasaan tidak aman yang membuat masyarakat daerah merasa terancam oleh kehadiran orang lain diluar komunitas atau kelompok mereka. 

Frasa "lockdown" menjadi pilihan sebagai dasar emosional (bukan dasar ilmiah)  untuk bersegera membuat  "benteng perlindungan"  dari serangan virus Covid-19 yang (katanya) dibawa pulang oleh para pemudik, tamu, orang asing, dan siapapun diluar "benteng perlindungan" itu.

Fenomena di penghujung Maret tahun 2020 ini  yang menurut saya menciderai  harkat kita sebagai manusia yang mulia dan bermartabat, ketika banyak kampung di daerah (baca: di Jawa) dan mungkin juga di tempat lain  yang membuat barikade di mulut gang-gang mereka  dengan berbagai penghalang, ada yang dari bambu, palang kayu, kursi panjang, bahkan membuat portal permanen dari  besi dengan tulisan besar-besar dengan isu "lockdown". 

Berikut berbagai kalimat yang bernada biasa sampai dengan kalimat-kalimat sarkasme, bernada ancaman bahkan mengarah ke rasisme yang bisa kita jumpai di daerah atau yang tersebar luas melalui medsos: Kampungku Seteril Covid-19 (masih nyaman dan sopan),  Lockdown -- Tamu Wajib Lapor (lebih baik), Lockdown -- Ngeyel Sampluk (bernada ancaman; sampluk artinya pukul atau tampar), Lockdown-No Pemudik (penolakan terhadap pemudik), Lockdown-Pemudik Wajib Lapor (subyeknya adalah pemudik, mulai curiga), Lockdown-Tamu Harap Lapor-Ojo Ngeyel (bernada ancaman), Lockdown-Rasah Ngeyel (bernada ancaman), Lockdown-Smackdown Covid19 (masih bisa diterima), Mending mati kebedil londho timbang mati keno viruse cino (mulai lebay dan multi tafsir mengarah ke sara; ras Cina ), Ngeyel Bacok (sadis).

dokpri
dokpri
Nampaknya media sosial memiliki peran besar dalam menyajikan  informasi kepada masyarakat yang dalam kondisi labil tidak mampu mencerna dengan bijak sehingga dengan mudah terpengaruh isu yang disajikan dan mengambil  tindakan yang cenderung berlebihan. 

Prasangka atas kehadiran pemudik yang membawa virus COVID-19 menjadikan warga setempat menolak kepulangan mereka dari kota perantauan, prasangka bahwa orang asing yang bukan warga setempat adalah pembawa virus menjadikan mereka sah untuk menolak kehadirannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun