Untuk sejenak drakor maupun drama PPKM mingguan tersisih sejenak oleh seleksi PPPK yang tak kalah dramatisnya.
Keputusan pemerintah mengenai PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) memang seolah bagaikan upaya P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan). Ya, "kecelakaan" di dunia pendidikan, yang selama berganti-ganti pemerintahan jarang ditangani secara serius oleh penguasa yang memilih cari aman, sehingga bagaikan "bom waktu" yang suatu saat mau tidak mau mesti dihadapi.
Di antaranya adalah banyaknya guru yang pensiun, sementara di sisi lain banyak guru honorer yang sudah mengabdi bahkan hingga puluhan tahun. Seolah ada kesengajaan untuk melakukan pembiaran. Mungkin mindsetnya, "Kalau masih bisa dibayar murah, mengapa tidak?". Kalau jawab tukang becak, "Murah, kok njaluk selamet?"
Adakah daerah yang memiliki UMR sebesar 300 ribu rupiah? Tentu tidak. Tapi bagi para guru honorer, itu adalah Upah Mengajar Rata-rata. Itupun banyak yang dirapel berbulan-bulan.
Bagaimana untuk menambal penghasilannya? Ada yang nyambi ngarit. Ada yang nguli. Ada yang ngamen. Ada yang ngojek. Ada yang mbecak. Ada yang mulung. Ada yang jadi badut. Profesi-profesi yang sebenarnya halal, tetapi kadang mengundang tatapan sinis dari anak didik dan wali murid.
Ada Bapak Guru yang sudah berusia 50 tahun masih bersemangat mengikuti seleksi PPPK. Entah untuk yang ke berapa kalinya beliau mengikut "hajatan" semacam ini, demi sekedar peningkatan kesejahteraan.
Saya khawatir beliau tak lagi awas memantengi sekian ratus soal di layar komputer, atau tangan sudah tremor saat mesti menggunakan mouse. Pengabdian puluhan tahun dengan gaji tak seberapa, seolah tak bermakna bagi negara. Di usianya beliau mungkin sudah kesulitan untuk berkejaran dengan teknologi terkini.
Sepatu yang kulitnya sudah aus. Celana hitam yang memudar. Baju putih yang makin kusam. Celana longgar yang diikat tali rafia. Di seleksi PPPK, kita dengan mudah menemukan wajah-wajah Pak Guru Oemar Bakrie.
Oemar Bakrie dalam lagu Iwan Fals, masih lebih beruntung menjadi pegawai negeri. Apalagi guru PNS jaman sekarang ditambah sertifikasi menjadi lebih makmur, tak lagi naik sepeda kumbang, minimal motor matic cicilan.
Tetapi Iwan Fals benar, jadi guru jujur berbakti memang makan hati. Para guru honorer yang sudah mengabdi hingga puluhan tahun. Tanpa tanda jasa, tanpa tanda terima.
Entah sudah berapa banyak anak didik yang sudah dientaskan dari kebodohan oleh para guru honorer yang sebagian sudah sepuh-sepuh ini. Bahkan mungkin di antara anak didiknya sudah banyak yang "melompati" dirinya baik PPPK maupun PNS.