Mohon tunggu...
Mega Nugraha
Mega Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Jalan-jalan, mikir, senang

Suka jalan-jalan, suka tempat wisata Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kisah Tentang Kampung di Tengah Hutan

20 Desember 2011   12:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:59 2538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jarum jam sudah hampir menunjukkan tengah hari. Namun, cuaca sekitar Kawasan Hutan Konservasi Masigit Kareumbi yang berbatasan dengan Kab Bandung, Sumedang dan Garut masih menyisakan embun dan kabut pagi. Suara jangkrik dan serangga hutan masih terdengar nyaring.  Pepohonan yang rindang pun membuat langit tertutup. Untuk menuju lokasi ini, perlu waktu hampir 40 menit dengan kendaraan roda dua atau 1 jam lebih dengan roda empt dari Kecamatan Cicalengka dengan mengambil arah menuju jalur wisata Curug Cindulang. Setelah melewati rimbunan hutan tropis, di ujung jalan, sudah mulai tampak deretan rumah-rumah panggung yang dikelilingi oleh bukit Arjuna dan Barudatar yang ditumbuhi pohon pinus. Perkampungan di tengah hutan itu dikenal dengan Kampung Cimulu Desa Pangeureunan Kec Limbangan Kab Garut. Meski demikian, lokasinya cukup dekat dengan Kab Bandung. Itu terbukti, umumnya, anak-anak kampung yang dihuni oleh 10 KK yang terdiri dari 31 KK ini, bersekolah di wilayah Kab Bandung. "Anak-anak disini sekolah SD di Kab Bandung, SMP di Kab Sumedang dan SMA di Kab Bandung lagi. Dulu, waktu motor masih jarang, anak-anak disini sudah terbiasa berjalan kaki sejauh 5 kilo. Setelah itu, baru naik angkot. Baru setelah ada motor, warga disini pun membeli motor untuk keperluan anak-anak sekolah," ujar Mak Nyai, kuncen kampung Cimulu. Kampung Cimulu ini sudah ada sejak zaman Belanda hingga sekarang. Untuk keperluan administrasi kependudukkan, warga sudah terbiasa berjalan sejauh 3 kilo menuju kantor desa dengan menembus hutan. "Meski dekat dengan Kab Bandung, warga disini membuat KTP tetap di Garut dan sudah terbiasa pula berjalan kaki sejauh 3 kilo menembus hutan untuk membuat KTP," Tidak hanya itu, jika ada pemilihan Kades, Legislatif maupun presiden, warga pun rela berduyun-duyun menuju TPS dengan menembus hutan. Di kampung ini pun terdapat empat makam keramat, yakni makam Raden Masinah, Prabu Jaya Kusuma, Mbah Marsa serta Aki Omo, kuncen sebelumnya. "Makam-makam itu, orang yang pernah membuka dan mendiami kampung ini," Yang lebih menarik lagi, jika ada seorang warga yang melahirkan, bukan bidan dari Garut yang dipanggil, melainkan bidan desa di Sumedang dan Bandung. "Jika bidan desa di Sumedang berhalangan hadir, kami memanggil bidan desa di Kab Bandung. Meski jauh, mereka biasa datang kesini," Adapun untuk memenuhi keperluan sehari-hari, umumnya warga disini berkebun kol, cabai, tomat, wortel dan sayuran lain lalu menjualnya pada bandar untuk dijual ke wilayah Kab Bandung dan Sumedang. "Bandarnya sudah terbiasa datang kesini dan mereka juga selalu jujur mengenai harga. Jika misalkan harga cabai sedang naik, para bandar itu selalu transparan memberi tahu kami. Sebagian hasil kebun dijual dan sebagian lagi untuk dimakan," Dengan cara itulah kebanyakan warga Cimulu bisa bertahan meski jauh dari pusat Kab Garut dan lokasinya berada di tengah hutan. "Kami punya lahan sendiri, dikelola sendiri, sebagian dinikmati sendiri. Karena berkebun sayuran, jadi kebanyakan warga disini makan sayur. Dan efeknya, warga disini jarang sakit," Selain berkebun, warga juga menyemai bibit pohon untuk ditanam dan untuk program Wali Pohon yang dikelola oleh pengelola Hutan Konservasi Masigit Kareumbi. Adapun selama puluhan tahun, luas lahan Kampung Cimulu ini 8 hektare dan hingga sekarang tidak bertambah. "Luas perkampungan dan lahan perkebunan di Cimulu sejak dulu masih 8 hektare dan tidak bertambah. Kalau bertambah berarti membuka hutan. Dan kami tidak mau membuk hutan untuk dijadikan perkebunan karena umumnya, warga meyakini bahwa selama ini, hutan telah memberikan manfaat begitu besar bagi warga," Adapun jika warga membuka hutan dengan menebang pohon, itupun pohon yang ditebang  untuk membuat rumah dan jumlahnya pun sedikit. "Terakhir menebang pohon itu kurang lebih 35 tahun yang lalu untuk dijadikan rumah," Di kampung yang dekat dengan hulu sungai Citarik ini, ia mengaku tidak pernah kesulitan air. "Jika di daerah lain sedang kekurangan air dan tidak bisa mengairi sawah atau kebun, justru di Kampung Cimulu, tidak pernah mengalami hal demikian. Jika pun kemarau panjang, kebun masih bisa diairi," Kalaupun demikian, yang terkena dampak saat musim kemarau itu, kampung ini tidak bisa menikmati listrik. "Kampung ini dialiri listrik sebesar 220 volt dari PLTA Mikrohidro. Kalau kemarau, airnya sedikit, jadi tidak bisa menggerakkan turbin," Namun demikian, ia mengaku hal itu tidak masalah. Karena pda umumnya, warga disini sudah terbiasa dan merasa nyaman dengan segala keterbatasan. "Kalaupun boleh meminta pada pemerintah, kami berharap akses jalan menuju kampung kami diperbaiki. Karena saat ini kondisi jalannya hanya batu saja dan itu jalan satu-satunya," Selebihnya ia mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu khawatir dengan hutan di sekeliling kampung Cimulu karena pada dasarnya, warga Cimulu akan menjadi barisan terdepan untuk menjaga hutan di sekitar Gunung Masigit Kareumbi. "Hutan ini sudah memberikan waktu panjang untuk membuat kami tetap hidup hingga sekarang. Oleh karena itu, kami akan terus menjaga hutan ini,"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun